Sate Ayu; Heterogenitas Per-Sate Kambing-an Nusantara


Semenjak meminang gadis pujaan 10 tahun silam, dua telinga saya ini pun mulai berkenalan dan kian intim dengan yang namanya sate Ayu. Lho, kok bisa?

Rupa-rupanya, tanah tempat warung makan ini berdiri hanya berjarak “lima langkah” dari rumah nenek mantan pacar, di daerah Kuncen, Padangan, Bojonegoro.

Sebenarnya, niatan untuk mentaarufi menu sate Ayu juga sudah lama terbersit, mungkin seusia pernikahan kami. Namun, meski hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, selalu saja urung dan terus tertunda. Pasalnya, setiap kali sowan dan bertamu ke rumah eyang putri, tak ada istilah perut kosong. Sebagai  cucu-cucu dan buyut-buyut yang diistimewakan  🙂 , hidangan dan cemilan komplit dan berselera selalu tersaji di meja buat keluarga kami. Tak ada ruang untuk berlapar ria walau hanya semenit saja.

But, kalau enggak nyolong-nyolong kesempatan, kapan lagi akan terealisasi membikin happy lidah kami akan dahaga mencoba khazanah perkulineran yang baru? 😦

Jelang hari peringatan 70 tahun negeri ini merdeka, beserta istri dan tiga pretty little angel tercinta, kuajak mereka untuk icip-icip olahan dapur khas sate Ayu. Setelah menyeberang  jembatan Kuncen, dan selanjutnya berbelok kanan di area pertigaan Mbaru, Padangan, sampailah cikar Nippon kami pada halaman sebuah rumah makan. Tak ada nuansa bahwa bangunan yang tepat berlapak di sisi double track jalur kereta api Jakarta-Surabaya ini adalah rumah makan yang mbois dan classy. Tampilan muka, tata letak perabotan dan perangkat meja kursi begitu sederhana dan bersahaja, hanya minor customize rumah tinggal dan garasi yang dimodifikasi jadi lay-out rumah makan.

Jpeg

Jpeg

Jpeg

Kami pun memesan main course yang kondang seantero Cepu dan Bojonegoro, yakni sate kambing, berikut gulai sebagai tandem untuk menu makan siang kali ini. Untuk tipe satenya pun diberikan keleluasaan dalam memilih, mau yang nongajih (daging only) atau gado-gado, campuran antara jeroan, daging dan gajih.

Aroma daging bakar khas barbeque menyeruak, menusuk tajam sensor lembut indra penciuman saat sate terhidang di hadapan kami. Sebagai sambal buat penyempurna santapan, terhampar di dalam sebuah piring paduan irisan bawang merah, kol dan tomat muda, yang diguyur cairan kecap manis-gurih. Ditambah prejengan kuah gulai nan kuning mengental berhiaskan daging-daging muda yang mengambang, membuat lidah semakin intens memproduksi air liur. Lupakan sejenak bahaya laten kolesterol, asam urat atau lemak berlebih di badan. Ayo sikat! 🙂

Jpeg

Jpeg

Nyummi dan nyaris perfecto…

Itulah kesan kuat saat tusukan sate yang tersusun dari empat potong daging kambing mendarat di rongga mulut. Dagingnya empuk, teksturnya lembut dengan warna coklat burgundy, minus bau prengus, plus celupan sambal kecap bertaburkan tumbukkan cabe rawit serta rempah lokal, cukuplah untuk mengerek nilai citarasanya di level 9.8 dari 10. Ada keunikan tersendiri pada rasa dan bumbu sate Ayu, tak meniru dan seragam dengan taste sate Tegal atau sate Subali, Alas Roban, yang pernah aku cumbui.

Kunci dari kelezatan sate Ayu ini bertumpu pada pemilihan usia, jenis kelamin dan letak bagian daging kambing yang hendak diolah. Kambing haruslah peranakan Jawa, BBG alias Betina Baru Gede, umur antara 6-7 bulan, perawan atawa belum pernah kawin, dan daging paling berkualitas terbentuk pada keratan paha.

Metode pembakaran satenya pun kudu di atas bara yang bersumber dari kayu arang. Hembusan angin untuk mengontrol ukuran api dan pemerataan panas mengadopsi cara manual,  memanfaatkan energi gerak kipas bambu. Dijamin, daging akan matang merata hingga sisi terdalam, cara yang akan susah dipraktikkan apabila menggunakan kipas angin. Delicious taste created by classic cooking system. Hehe…

Karena lokasinya persis di samping rel dan pojokan spot palang pintu perlintasan sepur Mbaru, sensasi menikmati Sate Ayu kian lengkap dan menghibur tatkala dua kereta api, yakni rangkaian KA Maharani dan KA Petikemas hampir bersamaan lewat. Lengkingan sinyal alarm yang berkoalisi dengan derak gemuruh wheel boogie manakala beradu dengan permukaan rel bak live music performance yang meriuhkan kesenyapan  jalan akses menuju Waduk Selorejo, Banjarjo, Padangan, siang itu.

Jpeg

Jpeg

Jpeg

Jpeg

Jpeg

Jpeg

Jpeg

Oh iya, tempo doeloe, rumah makan ini jamak lumrah disebut warung sate kambing muda. Barulah setelah istri Pak Tarmuji (pemilik warung sate Ayu) yang bernama Bu Yayuk meninggal dunia, orang-orang menyebutnya dengan sate Ayu, istilah yang di-trim dari kata Y-Ayu-K. Semacam tribute dari khalayak atas jasa Bu Yayuk yang telah puluhan tahun setia menemani sang suami berjualan sate kambing.

Kini, warung yang buka dari jam 10.00 hingga 22.00 kian tenar hingga mancakota berkat informasi getok tular, rekomendasi mouth to mouth. Manakala kami berkulineran di sini, mobil-mobil luar daerah (nonpelat K **** E/Y) dan mobil operasional perusahaan silih berganti mengisi slot parkiran. Daerah Cepu dan Bojonegoro sebagai basis minyak domestik ibarat gunung gula yang diperebutkan geng semut. Adanya korporasi besar seperti Pertamina, Exxon Mobil dan Petro Cina yang mempekerjakan ribuan karyawan serta institusi-institusi pendukung industri perminyakan nasional  adalah berkah tersendiri bagi terciptanya emerging market bagi prospeksivitas dan profitivitas kelanggengan usaha rumah makan sate Ayu.

Jpeg

Bila sate Tegal identik disebut sate batibul (bawah tiga bulan), sate Ayu pun layak dan patut diganjar dengan julukan sate batubul, alias bawah tujuh bulan.   🙂

– Salam Goyang Lidah –

1 thoughts on “Sate Ayu; Heterogenitas Per-Sate Kambing-an Nusantara

Tinggalkan komentar