Arsip Kategori: Wisata Indonesia

Prataan; Mandi Sauna di Tengah Belantara


Dalam perjalanan pulang dari rumah eyang putri-nya Naura di Bojonegoro, kuputuskan untuk mengaspal melalui rute Bojonegoro-Jatirogo-Rembang. Sengaja jalur ini aku pilih karena bisa memangkas jarak Bojonegoro-Rembang dibanding via Cepu-Blora. Memang, kondisi jalanan cukup sempit, namun lumayan mulus karena sebagian besar permukaan jalan sudah di-hot mix. Meski menyisakan kontur bergelombang –karena katakterisitik tanah di sekitar pegunungan kapur yang memanjang mulai dari Lasem-Pamotan-Sale-Jatirogo-Parengan yang labil– namun  tak signifikan menghambat laju kendaraan. Bis AKAP semacam Pahala Kencana, Tri Sumber Urip, Dali Mas dan Haryanto pun membuka trayek Bangilan-Jatirogo-Jakarta, karena ditunjang infrastruktur yang memadai. Tidak bisa dipungkiri, daerah seputar Senori dan Bangilan adalah salah satu pemasok tenaga kerja informal di Jakarta. Sehingga keberadaan moda transportasi ke ibukota sangat membantu mobilisasi warga di sekitar perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini.

 

Sesaat setelah melewati jantung kota kecamatan Parengan, kurang lebih 10 km dari pusat kabupaten yang identik dengan jajanan ledre ini, terlihat papan penunjuk arah bertuliskan “Wana Wisata Air Panas Prataan, 6 km”. Untuk mengobati rasa penasaran akan haus menikmati pesona alam, akhirnya kuarahkan mobil 1300 cc menyusuri jalan kecil yang membelah hutan jati, berbelok ke kanan dari jalur utama. Cuaca siang itu begitu panas karena fase musim sedang menapaki pancaroba, masa transisi dari penghujan beringsut ke kemarau. Dedaunan di ranting-ranting tectona grandis mulai mengering, menguning dan selanjutnya berguguran, tanda perilaku alami tanaman bernilai jual tinggi ini dalam mengakali cadangan makanannya sebagai bekal menghadapi kemarau panjang. Untunglah, angin perbukitan “bersedia” bersemilir sepoi-sepoi, mengeliminir hawa sengatan mentari nan terik. Andai saja saat berada di tempat ini bertepatan musin hujan, pasti kesan hijau, lembab, segar serta teduh yang akan melingkupi acara plesiran keluargaku.

 

Biarpun ketidakramahan alam mengemuka, soal keindahan panorama Parengan tak serta merta sirna. Jalanan yang berliku-liku, dengan sajian bukit yang didominasi vegetasi jati yang tumbuh raksasa seakan menjadi penghibur mata. Terlebih saat melewati perkampungan di tengah hutan, sawah-sawah padi menghijau, mengisi bulir-bulir kembangnya, menyeruakkan asa para petani dengan hasil panenan yang sepadan dengan kerja kerasnya. Tidak seperti daerah lain di sekitar hutan yang biasanya krisis air di kala kemarau datang, air di desa kecil cukup melimpah. Sungai berkelok-kelok yang mengalirkan ratusan kubik air jernih dan anti polusi, ibarat oase di padang tandus lereng bukit kapur. Keberkahan Yang Kuasa tidak pernah memilih tempat, di setiap titik di jagad raya, sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim selalu bertaburan.

 

Tak jauh dari kampuang nan jauh di mato ini, gerbang obyek wisata Prataan berdiri menyongsong.  Petugas membukakan portal sebagai akses masuk, setelah ketebus tiket seharga Rp1.500,00 per kepala dan Rp3.000,00 untuk bea parkir roda empat. Kami langsung di hadang tanjakan tinggi untuk mencapai lokasi sebenarnya. Gigi transmisi hanya berkutat di posisi satu, karena terjalnya lereng. Tidak sampai 100 m dari gateway, pusat wisata air panas Prataan terhampar.

 

Lokasi wana wisata pemandian air panas  Prataan ini terletak di Dukuh Ngaget, Desa Wukirharjo, Kecamatan Parengan, Tuban. Tepat berada di area hutan lindung Parengan, pada ketinggian 400 m di atas permukaan air laut. Hutan jati berusia rata-rata 50 tahun, dengan diameter batang hingga mencapai 2 meter, berjajar di kanan kiri obyek wisata unggulan kota tuak ini. Secara administratif, kawasan hutan ini masuk Kesatuan Pemangkuan Hutan Parengan dan secara pengelolaan dilakukan oleh Kesatuan Bisnis Mandiri Wisata, Usaha, dan Benih Perhutani Unit II Jawa Timur. 

 

Karena daya tarik obyek ini sendiri adalah pemandian air panas, kucoba mencicipi mandi sauna di tengah belantara. Secara total, disediakan 12 bilik kamar mandi, yang dilengkapi kran air panas dan air dingin untuk mengatur level kehangatannya. Mata air sumber air panas ada di sumur kecil yang terletak di samping bilik-bilik ini. Airnya di dalamnya tampak mendidih, bergejolak dan mengeluarkan asap tipis.

 

Dan salah satu kekhasan air panas Parengan, kadar belerangnya cukup tinggi. Pihak pengelola membatasi waktu mandi maksimal 15 menit, mengantisipasi tingginya kadar belerang dan bahaya panas. Terdapat warning high alert bagi yang memiliki riwayat sakit jantung, epilepsi dan ibu hamil. Selain itu, tidak disarankan mandi dengan perut belum terisi.

 

Benar terbukti. Saat kusiapkan air panas di bak kamar mandi, luasan udara seketika berubah pengap dengan bau tajam belerang.  Untuk meredam “ancaman”nya, air panas perlu dipadukan dengan campuran air dingin. Ketika berendam, terasa menikmati mandi uap di tempat sauna. Kehangatan air 50diserati kepulan asap, membuat keringat bercucuran. Air dengan kandungan belerang dipercaya menyembuhkan banyak penyakit kulit, seperti gatal-gatal dan eksim. Selain itu, bisa digunakan sarana relaksasi, menghilangkan kepenatan dari rutinitas harian pengunjung. Itulah sumbangsih alam, yang tak pernah lekang bersahabat dengan penghuninya selama diperlakukan dengan bijak dan berwawasan lingkungan.

 

Disediakan pula fasilitas kolam renang air dingin yang bersumber dari mata air di sekitar lokasi, dengan tiga tingkat kedalaman. Di sini, visitor tak usah khawatir dengan bahaya air panas. Bisa berlama-lama bermain air, dipayungi lebatnya dedaunan di sekitar kolam renang.  

 

Andai kita berkesempatan naik ke lereng lebih atas lagi, terdapat area bumi perkemahan dan kegiatan outdoor. Di saat libur sekolah, tempat ini selalu ramai para petualang alam berkemah, camping atau mengadakan tadabur alam.

 

Dan hebatnya, untuk menikmati semua fasilitas yang ada, pengelola mematok tarif dengan harga terjangkau. Untuk mandi sauna, hanya perlu membayar Rp2.000,00 dan menikmati kolam renang cukup selembar uang seribuan + sekeping uang logam lima ratusan. “Kalau ada yang lebih baik, buat apa bayar lebih”. Mungkin itulah falsafah pengelola dalam merayu calon pengunjung.

 

Sayang, maksud hati ingin berlama-lama bercengkerama dengan kecantikan alam Parengan terhalang rencanaku bepergian ke Jakarta sore harinya. Menjelang waktu dhuhur, kutinggalkan  Prataan Natural Hot Spring ini. Rasa kagum dan bersyukur atas anugrah alam ciptaan-Nya tertengadah dari kekerdilan jiwa insan manusia. Suatu keajaiban alam, sumber air panas keluar dari perut bumi yang jauh dari jalur gunung berapi.

 

Maha Suci Engkau Ya Allah…

Srambang (3)


Perjalanan ke Srambang Ngawi (3)

Saat Tekad dan Aksi Nekat Berjabat Erat

 

Baru beberapa langkah…

 

Subhanallah…gambaran alam nan eksotik menghampar di depan mata. Hutan pinus, kabut tipis, udara dingin, ladang ketela, kampuang nan jauh di mato dan semburat tipis cahaya siang menembus mendung di atas langit Srambang menggenapkan kesempurnaan “masterpiece” ciptaan-Nya. Terucap syukur dan tafakur-ku sembari kususuri setiap sisi lereng Lawu, berharap air terjun terlihat dari tempatku berdiri. Nihil, hanya vegetasi hutan tropis yang merajai.

31

 

Kulangkahkan kaki menuruni jalan terjal dan berbatu. Terlihat sepasang muda mudi bersiap pulang. Nuansa Srambang saat itu sangat sepi dari hiruk pikuk kehidupan manusia, hanya terdengar lengkingan serangga hutan dan gemericik air bening di hilir sungai, sesekali diiringi gelegar petir. Tampak sebuah loket di kejauhan, dan dari sanalah sebenarnya kawasan wisata air terjun Srambang ini dimulai. Rute kembali menanjak menuju loket masuk, di sela-sela hutan pinus yang lebat dan tinggi menjulang. Akupun terengah-engah, tak beda saat hiking naik gunung Gede tahun 2002 silam. Semula aku kira posisi air terjun tak jauh dari loket, namun tak terdengar debur air menghujam. Dugaanku meleset.

 

“Pak, mau masuk ke air terjun!”, kataku kepada penjaga loket

“Berapa orang Mas?”

“Cuma satu Pak”

“Berapa Mas?”

“Cuma satu.”

 

Duh, aku ini dianggap orang mencurigakan atau gimana sih, lha wong cuma sendirian masak ngga percaya. Atau dinilai orang aneh, hujan-hujan malah nekat ke air terjun.

 

“Berapa jauh ke lokasi Pak?”

“Kira-kira 1 km Mas”

 

Ha??? 1 km??? Kalau 1 km di kota itu dekat. Lha ini, menjelajah daerah baru dan asing dalam rimba belantara, 1 km serasa 10 km. Hmmkok sesusah ini cuma untuk melihat air terjun. Loket masuk Tawangmangu dan air terjun yang berjarak 300 m bagiku sudah menyiksa, apalagi ini…

 

Ah…sudah kepalang tanggung. Setelah menebus dengan Rp2.500,00, kususuri jalan setapak di bibir jurang yang dalam. Jalannya licin dan berbatu, sehingga perlu ekstra kehati-hatian. Tidak banyak pengunjung, sunyi, serasa hidup di kota mati. Langkah demi langkah kutapak, sambil melambungkan asa, banyak pengunjung yang memiliki rencana sama denganku,  mendaratkan kaki di area air terjun.

 

Namun, tak satupun pelancong kutemui. Padahal aku sudah “menebar” ratusan langkah. Tampak dua atau tiga penjual makanan dan minuman yang membuka lapak di tengah jalan, mencoba mengadu nasib, menjemput jatah rejeki.

 

“Maaf Mas, air terjun masih jauh?”, tanyaku pada salah seorang pedagang

“Masih Mas.”

 

Kok aku jadi pengecut begini ya? Mengapa aku mulai ragu untuk menembus lebatnya hutan Srambang. Ah…aku tak boleh kalah dengan perasaan yang menghantuiku.

 

Kulanjutkan langkah kembali. Lonely road, serasa berjalan di tengah areal pemakaman. Andai muncul  hewan buas, atau diganggu hantu penunggu hutan Srambang, atau kena tuah negatif yang Mbahurekso kawasan ini, ihh…seram membuatku bergidik. Bismillah (telat ya bacanya!) …aku tak boleh menyerah.

 

Pohon-pohon tua berusia ratusan tahun, batu-batu raksasa, sungai kecil berkelok-kelok, dan kabut tipis seakan menjadi pagar ayu yang menyambut kedatanganku. Berkali-kali rute setapak tak selamanya mulus. Ketika terhalang batu besar atau batang pohon tumbang, terpaksa menyeberang sungai, yang airnya deras mengalir, dengan menapak di batu-batu alam yang licin serta konon banyak pacet (lintah) hidup berkoloni di dalam sungai. Hi…jijik!

4

 

“Mas, mau ke air terjun ya?”.

Aku kaget ketika seorang ibu-ibu dengan bakul dagangan yang tengah turun dari atas membuyarkan lamunanku.

 

“Iya Bu, kemana lagi!”

“Buat apa Mas, masih jauh. Sepi di atas dan sekarang lagi hujan Mas. Hati-hati Mas, rawan longsor. Baiknya balik saja Mas”, ingatnya.

Ah, ngga Bu, pengen sekali ke air terjun”

 

Siapa dia ya? Jangan-jangan dia jelmaan peri Srambang? Eh, kok malah menghayal.Hehehe…

 

Kembali aku teringat dengan papan peringatan di dekat loket masuk. “Dilarang Masuk ketika Hujan, Rawan Longsor”.  Ah…aku sudah maju sejauh ini, masak harus mundur kembali. “Lanjut Gan!!!”, hardik kata hatiku.

 

Langkah demi langkah kugulirkan kembali. Semakin dalam, semakin jauh arah yang susuri. Sampai akhirnya di satu tempat yang redup sinarnya, karena kanan kiri diapit oleh tebing tinggi, setinggi hampir 50 m. Duh…bergidik bulu roma ini, andai yang aku khawatirkan terjadi longsor, tamat riwayat perjalananku di sini. “Ya Allah, lindungilah aku dalam perjalanan ini. Hidup dan matiku ada di kuasa-Mu.” , terucap doa tulus sebagai pengakuan aku ini hamba yang lemah, hanya noktah kecil di luasnya jagad raya.

 

Alhamdullilah, doaku langsung terkabul. Di titik ini kutemui lima anak muda yang hendak menuju air terjun. Lumayan, ada temannya. Kalau sekiranya terjadi apa-apa dan aku butuh bantuan, aku bisa menyandarkan bantuan kepada mereka.

 

Mulai dari sini, rute jalan sudah tak ramah lagi. Batu-batu besar, aliran air yang deras dan tebing di kanan kiri tanpa menyisakan jalan setapak di pinggir kali. Kita perlu berjalan di tengah sungai dengan menapak batu-batu hitam yang seolah telah tersusun rapi secara alami. Gemuruh air sayup-saypu terdengar, pertanda air terjun sudah dekat. Kuikuti jejak para anak-anak muda di depanku, meski aku tidak sampai bertegur sapa. Mereka asyik bercengkerama dan bercanda dengan temannya, tak mengindahkan ada orang lain yang sebenarnya butuh teman untuk menemani dalam perjalanan. Hehehe…

 

Akhirnya, tampak di depan mata air terjun deras mengalir dari ketinggian. Meski harus bersusah payah menaiki tangga kayu buatan agar bisa mendekat ke air terjun, tapi tak akan sia-sia pengorbanan, tekat dan aksi nekad, memuaskan dahaga penasaran untuk melihat air terjun kebanggaan Ngawi ini. Rasa khawatir, takut, terasing dan merinding terbayar sudah melihat keelokan pemandangan air di sisi utara lereng Lawu. So amazing, so exciting, so exotic… tak ada ibarat yang dapat melukiskannya. Aku yakin, air terjun ini pesona nan amat sangat mahal, karena tak mudah untuk menggapainya. Hanya orang yang teguh baja dan bermental kuat yang bisa mencumbuinya.

 

Kupuaskan hasil perjuangan dengan mengabadikan keindahan air terjun Srambang. Setiap sudut jangan sampai terlewatkan. Namun, tampias air terjun menghalang lensa kameraku. Tidak banyak gambar bagus yang bisa kurekam. Tak apalah, yang penting aku punya bukti bahwa aku pernah menaklukkan Srambang.

5

 

Kutadabur-i gemilang karya Yang Kuasa yang digoreskan di kanvas lereng Lawu. “Tuhan, sebagian keindahan alam abadi-Mu kau hadirkan dunia. Seakan engkau menyajikan iming-iming kepada umat-Mu, bahwa ada puncak kesempurnaan keindahan di arsy-Mu. Engkau telah menunjukkan jalan untuk meraihnya. Karena engkau begitu menyanyangi hamba-Mu. Semoga kelak, aku menjadi salah satu insan yang engkau ijinkan meraihnya. Amin…”

 

Hari beranjak sore. Kabut tebal mulai turun dan hujan semakin deras membahasi bumi Srambang. Secepatnya kutinggalkan air terjun, menyusuri kembali jalan tempatku mendaki. Aku tak mau terlambat tiba kembali di Kota Ngawi, pasti istri dan anakku sudah tak sabar menanti kedatanganku.

 

Terima kasih Srambang, untuk elok alammu dan pelajaran tentang kehidupan yang telah kau ajarkan. Bila ada ruang waktu, akan kutengok kembali pesonamu…    

 

 

 

Srambang (2)


Perjalanan ke Srambang Ngawi (2)

Saat Tekad dan Aksi Nekat Berjabat Erat

 “Ma, aku berangkat ke Srambang ya, Mama dan Naura ngga usah ikut.”, pintaku sewaktu berpamitan, selepas waktu dhuhur saat telah tiba di rumah Bulik di daerah Karangasri, Ngawi. Memang sih, rencanaku berubah. Mulanya aku pengen mengajak keluarga, tapi mendung gelap di sisi selatan Ngawi dan kerepotan istriku membantu persiapan acara keluarga, membuatku me-revisi planning awal.

 

Setelah permit terucap, kupacu kendaraanku ke  jantung kota Ngawi untuk menuju ke arah Sragen. Hanya solorun, sorangan wae. Setelah lampu merah perempatan Kertonyono, kupelankan laju si Aquablue, karena aku bersiap berbelok ke arah kiri, menyusuri jalan ke arah Kec. Jogorogo. Sebuah papan penunjuk jalan ke arah Paron, -daerah yang dilalui jalur menuju Jogorogo-, aku temukan. Dapat juga akhirnya jalan utama menuju lokasi air terjun Srambang. Jalannya relatif mulus dan lebar meski kontur tanah agak bergelombang. Suasana lalu lintas juga sepi, karena hujan gerimis sedari tadi turun, sehingga membuat malas orang untuk bepergian. Hawa gunung yang sejuk segar mulai terasa. Di kejauhan tampak Gunung Lawu kokoh membenam di permukaan bumi. Mendung gelap beringsut pergi, meski hujan kecil tidak juga kunjung berhenti. Untung, kabut di atas gunung masih tipis, sehingga guratan lereng Lawu masih jelas tertangkap di relung mata. 

 

Selepas Paron menuju Jogorogo, jalan mulai menyempit. Pemandangan di kanan kiri jalan dipenuhi areal persawahan padi yang sedang menguning dan kebun tebu rakyat yang sedang tumbuh mengisi, pertanda daerah ini subur dan mendekatkan berkah bagi para petani. 1

Sampai akhirnya tiba di pusat kota Kecamatan Jogorogo, yang hampir berjarak 25 km dari Kota Ngawi. Cukup jauh juga. Jalan yang mulus berakhir di pertigaan Pasar Jogorogo. Di sini aku sempat bingung, kok tidak ada plang nama petunjuk ke arah Srambang. Akupun bimbang, apabila lurus, jalannya berkualitas murahan, hanya beraspal curah, bukan hotmix lagi, sedang belok ke kiri (sesuai papan petunjuk) adalah jalur alternatif ke Maospati. Coba berspekulasi ambil jalan lurus, percaya saja sama instingku.

 

Mulai dari sini, medan mulai berat, naik turun penuh kelokan tajam. Apalagi kondisi jalan yang rusak, penuh lubang akibat perbuatan air hujan dan mengelupasnya aspal jalan, membuat kendaraan semakin kesulitan untuk melaju. Jalur ini tepat berada di tengah-tengah perkampungan yang (maaf), istilah kami ndeso, jauh dari hingar bingar kehidupan modern. Rumah-rumah wargapun sangat sederhana dan wajah-wajah penghuninya bersahaja.

 

Dalam batinku, “Kok tidak sampai-sampai ya, padahal kaki Gunung Lawu sudah kudaki.” Bahkan timbul keraguan, jangan-jangan bukan jalan ini yang dimaksud. Malu bertanya, sesat di jalan. Itulah peribahasa yang tepat bila aku terjerumus oleh sikap sok tau. Akhirnya aku bertanya kepada pemilik warung makan kecil-kecil di pinggir jalan. “Inggih Mas, leres niki redine. Kirang langkung 4 km malih,” ujar seorang kakek. (Iya Mas, benar ini jalannya. Kurang lebih 4 km lagi).

Kulanjutkan kembali perjalanku. Ah…mengapa aku tidak membeli penganan di warung kakek tadi? Belaiu sudah banyak membantu, semestinya aku berterima kasih dengan cara membeli jualannya. Duh…menyesal, ternyata aku belum ngeh cara halus untuk membalas budi. 

 

Jalanan semakin parah, sempit dan terjal. Ditambah hujan yang turun semakin deras, seakan mencurahkan semua isi langit. Ugh…kalau hanya untuk bersenang-senang, pasti akan kuputar balik kendaraanku menuju Ngawi. Bagiku, daerah ini terlalu asing dan serasa di ujung dunia. Buat apa sengsara seperti ini?

2

 

But…apa yang kulihat di depan? Hore!!! Empat buah medium bus PO Widji Lestari membawa rombongan anak-anak SMP di Tuban siap berpas-pasan denganku. Pasti mereka perjalanan pulang dari Srambang. Hehehe…masak aku kalah sama anak-anak sekolah.

 

Akhirnya tiba di satu perempatan jalan dengan tugu kecil, monumen kelompok persilatan Setia Hati Teratai, di tengahnya. Alamat bingung kembali. Celingak celinguk, tak ada arah petunjuk ke arah air terjun Srambang. Bertanya lagi kepada ibu-ibu penjaga warung kelontong. “Belok ke kiri Mas, 100 m lagi,” jelasnya. “Ya ampun, gimana orang mau ke Srambang, papan penunjuk jalan dan penanda lokasi air terjun Srambang aja ngga ada. Belum lagi jalan yang amburadul, pasti orang malas untuk berkunjung”, gumamku.

 

Setelah membayar pass masuk sebesar Rp5.000,00 untuk mobil (mahal bener ya???), langsung turunan tajam menghadang. Jalan aspal telah berakhir, yang tersisa hanya jalan makadam. Kuparkir kendaraanku di sebuah rumah penitipan, yang di dalamnya tampak beberapa buah motor pengunjung. Segera kukunci sambil berpesan kepada pemilik rumah untuk menjaganya. Tapi herannya, Pak Penjaga Mobil ini orangnya cool, jaim banget dan jauh dari keramahan. Hanya ngomong ketika ditanya, itupun hanya satu dua patah kata.

 

Buktinya, ketika aku tanya,

 

“Pak, air terjun masih jauh?”

“Masih”

“Seberapa jauh Pak?”

“Pokoknya jauh Mas.”

 

Duh…kalau sudah bilang ‘pokoknya’, susah deh…Sudahlah. Semoga itu hanya karakter dia saja, bukan keseluruhan masyarakat Srambang.

 

Namun, apakah sikap demikian yang seharusnya ditunjukkan kepada orang yang baru pertama hendak menginjak bumi Srambang?  Jadinya memberi kesan kepada pengunjung bahwa Srambang hutan larangan dan penuh misteri.

 

 

Hujan mulai reda, meski masih gerimis kecil. Untung, di dalam mobil tersedia payung, sehingga banyak membantuku agar nantinya tidak berbasah-basahan dengan air hujan. Kukembang piranti pelindung hujan, bersiap-siap memulai petualangan baru.

Srambang (1)


Perjalanan ke Srambang Ngawi (1)

Saat Tekad dan Aksi Nekat Berjabat Erat

 

Awalnya, di dalam benakku, Ngawi bukanlah daerah yang kaya akan wisata alam yang menarik untuk dikunjungi. Meski rajin bertandang ke kota keripik tempe ini, belum pernah sekalipun aku menemukan daerah  yang “sedikit layak” dijadikan pilihan untuk merengkuh aura kesegaran baru buat membebaskan pikiran.

 

Apalagi selama ini seringkali melalui jalur Cepu-Ngawi, yang didominasi lahan tandus, tanah berkapur dan sengatan cuaca panas, yang membuat silau dan kurang sedap dipandang mata. Kalaupun ada sedikit keindahan, bagiku hanyalah alas Mantingan, yang memberi warna hijau oleh rindangnya daun-daun jati yang menjadi pagar hidup jalur selatan, penghubung Kota Sragen dan Kota Ngawi. Pernah sekali waktu melewati jalur Ngawi-Karangjati, hmm….sama saja. Hanya hamparan persawahan diseling perkampungan penduduk. Standar-standar saja tanpa keistimewaan, mudah menemukan panorama model beginian di tempat lain.

 

Tapi aku yakin, di setiap kota yang pernah aku singgahi, pasti ada daya tarik unik. Yang entah karena kurang promosi atau kekurangpedulian dinas terkait untuk mengorbitkannya di jajaran obyek wisata unggulan, sehingga jarang terpublish di ranah  wisata nusantara.

 

Mendengar akan ada acara keluarga di Ngawi, bergegas aku minta tolong Paman Google mencari informasi obyek wisata kota Ngawi. Toh acaranya digelar malam hari, siangnya aku punya waktu leluasa untuk menggelorakan jiwa petualangku. Searching…searching…benar kan, ternyata lumayan ada juga. Mulai  Waduk Pondok, Pemandian Tawun, Kebun Teh Jamus, Air Terjun Srambang, situs purbakala Trinil, dan Gunung Liliran. Tapi kuputuskan men”centrang” Srambang sebagai target yang aku bidik. Hanya alasan simpel, aku ingin mengkomparasikan dengan air terjun Tawangmangu, yang akhir tahun kemarin aku sambangi.

 

Namun sayang, berita “keberadaan” tentang air terjun ini sangatlah minim. Bahkan sampai aku mengkorek-korek blog-blog pribadi para netters, tidak banyak kutemukan. Kesimpulanku, tempat ini memang kurang laku jual. Ibarat kata, bukan karena Srambang tidak punya nilai, melainkan  “orang marketingnya” kurang greget menawarkan barang dagangannya. Untuk informasi rute ke arah obyek ini saja juga kurang memadai bagi yang buta peta Kabupaten Ngawi. Sampai-sampai kupasang satus “Didik, butuh petunjuk jalan ke Srambang, Ngawi” di Facebook, siapa tau ada FBers yang bisa meng-assist. Untunglah, Mas Habib, anggota komunitas Bismania yang asli orang Ngawi, merespon “peluit SOS”-ku. Akhirnya lewat chatting di room privacy, dia memberi ancer-ancer ke arah Srambang dan sedikit berbagi cerita bahwa dia pernah ke sono sewaktu masih bersekolah di SMA. 

 

Yup, tekadku mulai membuncah. Aku harus sampai di kompleks air terjun Srambang. Dunia ini luas untuk dijelajahi, tetapi akan terasa sempit bagi tekad seorang petualang.

 

 

Waduk Tempuran, “Oase Buatan” Di Bumi Tandus


42Blora, -sebuah kabupaten di sisi timur tenggara Propinsi Jawa Tengah-, merupakan daerah berhawa panas dengan karakteristik tanah yang relatif tandus. Posisi geografis kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah selatan Kota Rembang ini berada di dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian 20-300 m dpal, sehingga turut mempengaruhi iklim kehidupan alam Blora yang  terkenal keras. Meskipun topografi daerah kaya minyak ini didominasi  hutan jati, namun faktanya Blora berstatus “pelanggan tetap” korban derita alam akibat degradasi fungsi dan kualitas lingkungan, ulah  tangan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Belitan krisis air di saat musin kemarau serta ancaman banjir dan longsor seakan menjadi sahabat tahunan warga Blora. Sungguh ironis.

 

Curah hujan yang rendah, rata-rata “hanya” 105 hari atau 1566 mm per tahun cukup membuat “kewalahan” pihak terkait untuk menyediakan kebutuhan air bersih. Salah satu solusi yang digagas adalah pembangunan tandon-tandon air, semisal embung, waduk ataupun kolam penampungan air, memanfaatkan air hujan yang biasanya turun di rentang bulan November hingga bulan Februari.

 

Dan salah satu karya “masterpiece”  Pemda Kabupaten Blora adalah Waduk Tempuran. Wadah air raksasa ini terletak Desa Tempuran, Kecamatan Blora Kota, berjarak 15 km arah utara jantung Kota Blora. Luasan air yang menggenang seolah-olah melingkari Dusun Juwet sehingga kampung kecil nan permai ini tampak mengapung di tengah-tengah waduk. Sebuah miniatur Danau Toba dihiasi Pulau Samosir di tengahnya.

 

Waduk yang dibangun di awal tahun 2000 ini seakan menjadi “obat pintar” menyiasati gersangnya alam bumi Blora. Selain memainkan peran utama sebagai sumber ketersediaan air bersih, air waduk dimanfaatkan pula sebagai sarana irigasi pertanian, tempat budidaya ikan air tawar, arena pemancingan, sarana even olahraga dayung tingkat lokal hingga nasional, serta dikreasikan menjadi tempat wisata berkonsep “duo tourism objects”, yaitu paket wisata alam digabung dengan wisata kuliner.   

 

Rute utama yang ditempuh untuk mencapai lokasi adalah jalan raya Rembang-Blora. Bila kita dari arah Rembang, sesampai di perempatan Pasar Medang  langsung berbelok kiri, menyusuri jalan sempit di tengah areal persawahan. Sewaktu kami sekeluarga ke sana, kami bertiga disuguhi pemandangan nan eksotis di kanan kiri jalan. Tunas muda pucuk-pucuk batang padi yang sedang  tumbuh mengembang menghampar laksana permadani hijau royo-royo yang menyejukkan. Rimbunnya daun-daun jati seakan menjadi “kamuflase” untuk menyembunyikan ketidakramahan iklim kering daerah ini. Jajaran perbukitan kapur semakin menggenapi panorama indah lukisan alam,  memanjakan setiap mata untuk meliriknya.

 

Sebelum memasuki kawasan wisata, kita akan menjumpai sebuah stasiun klimatologi kecil, yang dipakai untuk memantau keadaan cuaca di sekitar waduk. Stasiun ini mencatat setiap perubahan kecil dari temperatur udara, kelembaban udara, dan curah hujan. Data-data ini sangat penting untuk pengaturan air waduk.

 

Melihat animo masyarakat yang cukup tinggi untuk berkunjung, Dinas Pariwisata Kabupaten Blora pun menggandeng mitra swasta untuk mengelola secara profesional keberadaan Waduk Tempuran. Bukan sekedar untuk memanfaatkan pesona air waduk, namun dipadukan dengan wisata kuliner. Maka dibangunlah semacam kedai makan, -yang lebih cocok disebut café-, yang menyajikan wisata kuliner khas Waduk Tempuran, yaitu ikan bakar. Untuk menjaring lebih banyak wisatawan, disediakan fasilitas tambahan berupa taman bermain plus kolam renang bagi anak-anak, wahana bebek air, homestay, gedung pertemuan dan panggung live music khusus hari Minggu dan  libur besar.

 

Di cafe yang dinamai “ Café In” ini, menu utama yang ditawarkan adalah ikan bakar, dengan pilihan ikan bawal ataupun gurami.  Dengan paduan bahan rempah-rempah bawang putih, garam dan merica dengan komposisi yang klop sewaktu memasaknya, dilumuri kecap manis, bumbunya pun terasa meresap sampai ke dalam tekstur daging ikan. Dicocolkan ke dalam sambal terasi pedas yang menyengat indra perasa, dengan lalapan segar daun kemangi, irisan mentimun, sayuran kol dan terong ungu, serta nasi pulen yang mengepul hangat, semakin pas untuk menyempurnakan salah satu hidangan khasanah dunia boga nusantara. Menghabiskan acara bersantap siang  bareng keluarga di saung-saung yang mengapung di atas air yang melimpah ruah, menjanjikan nafsu makan kian bergelora dan semakin menambah kenikmatan mengecap hidangan identitas Waduk Tempuran ini. Selembar uang 50 ribu-an pun masih tersisa untuk menebus 1 kg ikan gurami bakar, komplit dengan kondimennya, sebakul nasi putih dan minuman teh manis.   Sepadan dengan kepuasaan mencumbui keindahan wisata alam sekaligus menuntaskan demam kerinduan mencicipi wisata kuliner .

201

 

Siapa yang tidak tergoda untuk mencobanya?