Arsip Kategori: I Started A Joke

Mengapa Ada “PO Haryanto Motor”?



Sebenarnya, ada sedikit hal yang “mengganggu mata” saat melihat penampakan bis Haryanto akhir-akhir ini. Yakni ada beberapa armada yang bertulisan “PO Haryanto Motor” di lambung body-nya.

Namun, berkat pengamatan yang lumayan jeli, ternyata “anomali” hanya ditemui pada produk New Armada, baik yang model Grand Aristo maupun Avant Garde.

Demi kevalidan kesimpulanku itu, kutanyakan pada kru Haryanto Madura, yang armadanya kunaiki sewaktu perjalanan di malam penghujung tahun 2009.

Menurut penuturan beliau, penulisan PO Haryanto Motor adalah “murni kesalahan”, semestinya cukup “PO Haryanto” saja.

Siapa yang patut disalahkan?

Sebagaimana diceritakan, sewaktu chasis Hino RK8 maupun MB OH1521 (re-build) dikirim ke Magelang, basis lokasi New Armada berada, tak lupa si driver pengantar dibekali surat jalan dari manajemen Haryanto, sebagai bukti serah terima chasis baru/ lama ke pihak karoseri. Nah, di kop surat resmi tersebut tertulis nama “PO Haryanto Motor”, full name dari nama perusahaan yang kepemilikannya dipegang Pak Haji Haryanto.

Sayangnya, pengurus Haryanto yang berkompeten lupa menitip pesan kepada driver tersebut untuk di-forward ke New Armada, bila nanti armadanya sudah 98% jadi, cukup dilabeli PO Haryanto, tanpa embel-embel “Motor”.

Dan sayangnya berkelanjutan, berhubung New Armada juga baru pertama kali mendapat order untuk mem-body armada Haryanto, karyawan bagian painting pun menulis nama PO berdasarkan surat jalan, yakni “PO Haryanto Motor”. Dan ini baru disadari pihak Haryanto saat armada akan dikirim balik ke pool Kudus.

Karena sudah terlanjur terpampang, ya …the show must go on….

Jadi jelas, tak ada yang perlu dipersalahkan. Alih-alih membawa kerugian, justru bagi saya malah mendatangkan kebaikan. Saya demen melihat nama “PO Haryanto Motor”, kelihatan gagah dan garang penamaannya. Hehehe…

Tapi itu terjadi pada pengiriman chasis gelombang pertama, dan sekarang bis-bis ini peruntukannya untuk jalur Kudus-an. Untuk armada baru buatan New Armada, telah dikembalikan menjadi nama umumnya “PO Haryanto”, termasuk Avant Garde langsiran bulan September 2009 yang kutunggangi kemarin.

Mitos Buah Pembawa Sial


Dunia bis tanah air pun tak lepas dari namanya mitos. Di kalangan kru bis, ada semacam kepercayaan terhadap hal-hal yang irasional, yang asal muasal ceritanya tak jelas dan kebenarannya susah ditangkap dengan akal sehat, namun akhirnya dianggap sebuah keniscayaan.

Satu di antaranya adalah mitos tentang kesialan bila bis mengangkut buah durian. Yang konon katanya, sengatan bau harum yang disebarnya bisa membikin bis perpal (mogok) di jalan.

Namun, setelah mendengar cerita satu kru bis Kudus-an, ternyata bukan terbatas buah durian yang mendatangkan kesialan, buah mangga pun tak kalah jahat, juga menebarkan ancaman keapesan di jalan raya.

Tak percaya?

Selain Indramayu, kawasan Muria juga dikenal sebagai sentra penghasil buah mangga, khususnya mangga gadung. Berhubung sedang masa panen, sehingga overstock, tak ada pilihan lain kecuali mangga-mangga lokal ini “dibuang” ke luar daerah, termasuk Jakarta. Untuk partai besar, biasanya tengkulak membawanya menggunakan light truck.

Namun, bagi pedagang kecil dan musiman, yang sekedar ikut-ikutan mengadu nasib berjualan mangga ke ibukota, untuk menghemat ongkos pengiriman, diakali dengan jalan dititipkan ke bagasi bis. Tentu besaran bea kirim bisa cincay dengan kru.

Nah, ceritanya bis ini “ketiban sampur” membawa puluhan kardus ukuran besar yang berisi mangga siap kirim. Saking banyaknya, bagasi sebelah kiri full, hanya sedikit menyisakan space untuk barang lain.

So far, rute Kudus-Cirebon bis fine-fine saja. Masalah muncul saat bis menapak daerah Jatibarang. Saat itu ada kendaraan pribadi menyalip, memberi kode sopir untuk menepi sambil menunjuk arah belakang. Pengemudi pun merespon, dengan menghentikan kendaraan. Kenek segera turun dan melihat apa gerangan yang telah terjadi.

Setelah cek dan ricek, ternyata pintu bagasi kiri terbuka dan nun jauh di belakang terlihat beberapa kardus jatuh di jalan. Ratusan buah mangga tercecer dan berhamburan di jalan, karena tali ikatan lepas. Usut punya usut, ternyata kunci bagasi dalam keadaan setengah rusak, sehingga kurang tight dalam sewaktu digunakan

Walhasil, saat bis berjalan, karena goncangan ke kiri ke kanan, kardus-kardus tersebut mendesak pintu bagasi. Karena piranti pengunci kurang fix bekerja, akhirnya tak kuat menahan beban dan at last…terbuka dengan sendirinya.

Akhirnya kru ketiban sial, laju bis diistirahatkan sementara waktu. Bukan karena faktor teknis kendaraan, tapi non-teknis. Mereka terpaksa memunguti mangga-mangga yang masih bisa diselamatkan dan naga-naganya dikomplain si empunya.

Menurut saya, bukan masalah kebenaran mitos bahwa membawa buah adalah kesialan. Asal membawa sewajarnya, tidak overcapacity atau oversmell, tak akan berpengaruh dengan kenyamanan perjalanan.

Special One dari Laksana


Tahukah BMCers, ternyata karoseri Laksana pernah mengkreasi satu model spesial, unique dan ekslusif.  Model ini muncul saat tren karoseri tanah air condong ke gaya minimizing over elegance. Pasti bismania tidak asing dan sangatlah familiar dengan aliran kontemporer ini. Berbasis model setra dengan aksen minimalis, yang diperkenalkan pertama kali oleh Adi Putro ber-brandname Sprinter, selanjutnya disusul Tri Sakti, mengusung tag Marcopolo. Laksana sendiri menyebut produk massalnya ini dengan penamaan seperti Adi Putro, Sprinter.

Efi

 Marcopolo-TS

Konon kabarnya, Laksana membuatnya dengan status limited edition, bahkan diklaim satu-satunya unit yang dirilis di pasar. Boleh disamakan dengan kendaraan milik Sultan Hassnanah Bolkiah, Ferrari seri FX. Mobil wah yang mengadopsi  teknologi mesin Flat 12 dari Ferarri Testarossa dan transmisi 7-speed sequential dari Williams BMW Formula 1 team. Sultan Brunei merupakan satu-satunya pemangku mobil hi-tech ini.

 

Mengapa dinilai istimewa dan dianggap “masterpiece”nya Laksana?

 

Kalau diamati secara detail, produk Laksana era pertengahan 2000-an ini, untuk sektor muka, lekuk buritan, sentuhan eksterior samping dan kelengkapan interior sebenarnya tidak jauh berbeda dengan model Sprinter. Namun, yang membuat model dengan ciri khas ornamen curve untuk mempermanis titik pertemuan kaca samping dan kaca pintu depan  ini bernilai tinggi ini adalah soal penamaan produk. Karoseri yang berhome base di Ungaran ini melekatkan nama Columbus untuk mecitrakan model special one kebanggaannya.

SSM 213

 Nah, yang menjadi pertanyaan, apakah Columbus ini adalah Royal Coach SE-nya Laksana Sprinter? Dan mengapa pihak Laksana mempercayakaan special one yang diambil dari nama tokoh penjelajah dunia penemu benua Amerika, Columbus, untuk dibajukan pada armada Sindoro Satria Mas berkode lambung 213 ini?  Bukan PO Sumber Alam atau PO Raya yang dikenal loyalis dan addict to Laksana? 🙂

Smiley Lamp Menuju Meja Hijau


Baru-baru ini, PT Busacc Prima Enterprises, produsen dan vendor aksesoris untuk kendaraan bis di seluruh dunia, mendaftarkan laporan pengaduan di Pengadilan Niaga Jakarta . Korban merasa  terusik, setelah salah satu produknya, yakni rear lamp model smile dijiplak sembarangan oleh PT Busrepair Sejati Limited, sebuah karoseri bis yang berhome base di Kota Solo, Jawa Tengah.

 

Perusahaan asing asal Taiwan ini merasa “lampu senyum” ciptaannya –yang telah menghabiskan gocek yang tidak sedikit untuk research and development, investasi dan promosi– persis dengan buah olah kreativitas yang dibuat oleh bengkel rumahan spesialis body repair tersebut. PT Busacc menilai, produk barangnya telah dimanfaatkan pihak-pihak tertentu dengan cara mencontek modelnya, meski secara dimensi, bahan dan kualitas jelas jauh berbeda.

 

Kasus perselisihan kepemilikan model produk barang antara perusahaan asing dan lokal ini, bisa jadi menjadi sinyal pertama penegakaan hukum atas Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di ranah perdagangan yang bersinggungan dengan dunia transportasi darat bis.

 

Memang belum jelas apakah tergugat menggunakan imajinasinya sendiri, atau memiliki itikad tidak baik memdompleng ketenaran ketika menciptakan model rear lamp smiley tandingan. Namun nyatanya, kasus ini telah bergulir dan sedang tahap pemeriksaan oleh aparat pengadilan.

 

Namun semua tuduhan yang dialamatkan kepada PT Busrepair tersebut dibantah oleh kuasa hukumnya, John Nggedhebuz. “Gugatan penggugat tidak dapat diterima,” kata John dalam dokumen pembelaannya pada pertengahan pekan lalu.

 

Menurut John, aduan Busacc itu kabur. “Penggugat menyatakan modelnya lebih dahulu dikenal, namun alasan dan atau kriteria keterkenalan smiley lamp itu tidak didalilkan,” katanya.

 

Alasan penggugat yang menyebutkan pendaftaran model produk milik kliennya di pelbagai negara telah memberi kesan suatu model terkenal, menurut pengacara handal ini, debatable.

 

Alhasil, genderang perang antara Bussacc dan Busrepair untuk menentukan siapa sebenarnya yang berhak atas “lampu senyum” sudah ditabuh. Masing-masing kuasa hukumnya sudah menyiapkan dalil-dalil dan fakta-fakta hukum ke muka persidangan nantinya.

 

Siapa yang lebih berhak atas model dagang tersebut, akan tergantung pada keputusan hakim Pengadilan Niaga Jakarta.

 

Inilah kedua model Smiley Lamp yang tengah jadi polemik.

 

Versi PT Busacc Prima Enterprises

4

 

Versi PT Busrepair Sejati Limited

LJ

 

🙂

Barang Bawaan Makan Tuan


Apa alasan utama jalur Jakarta-Madura tetap gemuk, di saat penumpang Malang, Surabaya atau Denpasar surut karena himpitan LCC (Low Cost Carrier) pesawat udara serta keenganan penumpang didera derita kerusakan jalan pantura yang seolah tiada berujung? 

Tak dapat dipungkiri, orang Madura berjiwa petualang, senang bepergian. Terlebih bagi perantau di ibukota, hubungan batin dengan tanah tumpah darahnya tetaplah kental. Minimal sebulan sekali mereka siap berkorban menempuh jarak 800-an km demi menuntaskan kerinduan bertemu keluarga di daerah asalnya. Karena orang Madura kebanyakan bekerja di sektor informal, sehingga waktu bukan masalah mendasar bagi mereka. 

Tentu saja, ritual pulang kampung bukan sekedar setor badan, namun tak ketinggalan pula barang bawaan yang seabrek-abrek jumlahnya. Tidak aneh, bila satu penumpang bisa membawa sejumlah kardus, karung, ataupun pallet yang berisi oleh-oleh, bingkisan berharga atau barang titipan tetangga buat sanak saudara di desa asalnya. Bisa jadi dalamnya adalah hasil bumi, bahan pangan, lembaran sandang atau piranti elektronik. Bahkan sepeda pancal pun tak sungkan-sungkan dibawa, seakan di Pulau Madura tak ada toko sepeda. 

Keunikan inilah yang diendus operator bis yang membuka jalur ke Madura. Tidak perlu armada gres, model karoseri nan menawan, ruang kabin bersih dan smell good, jok empuk, kelengkapan selimut atau style driver yang speedfull. Cukup kebijakan PO tersebut untuk bersedia meng-ekspedisi barang apa saja selama masih bisa memungkinkan terangkut, dengan “akad” dengan kru,  free of charge

Coba sesekali naik bis Madura. Ruang bagasi sisi kanan dan kiri, rak gantung kabin, bawah kursi atau space kecil di depan toilet sarat barang-barang bawaan. Bahkan, pernah ada joke dari salah satu kenek bis Madura, andai di atap bis di-instal roof rack seperti bis-bis trans Sumatra, pasti bis itulah yang paling laris ke Madura.  

Kisah lucu “Barang Bawaan Makan Tuan” ini saya dapatkan saat ngobrol ringan dengan kenek bis Pahala Kencana (PK) Tanjung Priok-Bangkalan, bermesin Hino RG model Panorama DX Laksana, yang saya naiki ke Surabaya untuk mengikuti acara factory visit ke Adi Putro. Panorama DX

 

 

 

 

 

Menurut penuturan Mas Ahmad (kenek PK), kala itu dia ditugaskan meng-asisteni armadanya dengan tujuan Sumenep, kabupaten paling ujung timur Pulau Madura.  Ceritanya, ada penumpang (sebut saja Mat Jai) hendak pulang ke Bangkalan. Tiket yang dipegang cuma satu, tapi barang bawaannya bejibun, belasan kardus berukuran besar dan kecil, yang entah apa isinya. 

“Sampeyan turun mana Cak,” tanya Mas Ahmad saat menata barangnya di bagasi samping kiri.

“Bangkalan-e Cak,” jawabnya.

“Sampeyan barangnya banyak bener, mau pindahan ya Cak?”, sindir kenek asli Pemalang ini.

“Ah, ndak Cak, ini kan titipan tetangga-tetangga saya di sini, buat keluarga di Madura,” jelasnya. 

Berhubung ruang bagasi hanya sedikit tersisa, barang-barang Mat Jai dijejal-jejalkan ke dalam bagasi, saling terpisah dan bercampur dengan barang penumpang lain. Yang penting bisa termuat. 

Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan sekitar 18 jam, berhentilah armada HT 519 ini di satu daerah menjelang Bangkalan sesuai request Mat Jai. Waktu di ambang shubuh, karena bis diberangkatkan dari Tanjung Priok jam 10.00 pagi, hari sebelumnya. Sebagian besar penumpang bertujuan ke kota-kota setelah Bangkalan, seperti Tanah Merah, Blega, Sampang, Pamekasan serta Sumenep dan Mat Jai adalah penumpang pertama yang turun. 

“Cak, barangnya mana saja?” tanya Mas Ahmad sesaat setelah pintu bagasi dibuka.

“Ini…ini…ini…ini…ini…Cak,” sambil telunjuknya mengarah barang yang dimaksud. 

Dengan sigap, 5 kardus Mat Jai diturunkan oleh Mas Ahmad. 

“Mana lagi Cak?” tanya Mas Ahmad kembali, karena dia ingat barang bawaan penumpangnya ini banyak. 

“Hmm…mana yo Cak, lha kok aku lupa. Gini ini kalau barang titipan!” gerutunya sambil terdiam.

“Lho… gimana sampeyan ini Cak! Kok barangnya ndak ditandai?,” sergah Mas Ahmad dengan setengah kaget. 

Mat Jai hanya membisu, terus mengamati barang-barang yang menumpuk di bagasi sembari berupaya mengingat-ingat barang bawaannya. Tapi tetap saja hasilnya nihil, karena ada kardus lain-lain yang berukuran dan bersampul hampir serupa. 

Tak sabar menunggu, Mas Ahmad masuk kembali ke dalam dan melaporkan masalah tersebut kepada sopir. 

“Waduh…gimana lagi!” timpal Pak Sopir. 

Seketika itu pula, lampu kabin besar dinyalakan Pak Sopir sehingga suasana di dalam bis terang benderang. 

“Maaf Bapak, maaf Ibu, terpaksa mengganggu. Bagi yang membawa barang di bagasi, untuk turun. Ada penumpang lupa barangnya. Tolong, barang bawaan Bapak Ibu dititeni (dicermati) sendiri, biar tidak tertukar oleh orang Bangkalan yang mau turun!”, perintah Pak Sopir sambil menahan kekesalan.

Para penumpang yang lagi asyik-asyiknya tidur langsung membuka mata, karena silau oleh cahaya dan mendengar aksen suara Pak Sopir yng agak meninggi. Riuh rendah suasana di dalam kabin, merespon permintaan Pak Sopir. 

Bo…abo…dok re mak tak iye. Nak-enak tidur, lha kok disuruh rus ngurus barang…!” begitu gerutuan salah seorang ibu yang “menitipkan” barang di bagasi, sembari beranjak dari tempat duduknya. 

Alhasil omelan dan celotehan para penumpang dialamatkan kepada Mat Jai, saat satu persatu barang mereka di”sensus ulang” oleh Mas Ahmad ketika mencari barang-barang bawaan Mat Jai. 

Gara-gara Mat Jai lupa barang bawaan, seisi bis kena getahnya.