Arsip Kategori: Kuliner Nusantara

Opor Mbah Kani; Another Opor Ayam in Cepu


Pernah satu kali, saat lagi memblusuk di sekitar bandara Cepu, aku dibikin kecele.

‘Ngidam’ hati pengin kulineran lontong opor Pak Pangat, eh…ternyata malah tutup.

Sejak itu, aku mulai ngubek-ubek literatur bab lontong opor alternatif di seputaran kota minyak.

Sampai akhirnya, sebuah link menautkan pada twit orang nomor dua Blora, Bapak Arif Rohman,

“Satu lagi kuliner asli Blora yang maknyus saya cicipi di Desa Brabowan, Kecamatan Sambong.

Siang tadi setelah menghadiri kegiatan di desa ini, berkesempatan mampir ke warung kecil sederhana di pinggiran desa. Sebut saja Warung Mbah Kani Suwareh.

#KulinerBlora

***

Warung itu sangat sederhana. Berbilik bambu dan kayu, nir-modernisasi.

Meski bertiang-pancang di pinggiran wilayah Blora, kedai makan ini tergolong ramai setiap harinya. Sejak pagi ketika warga mencari sarapan hingga tengah hari saat jam makan siang tiba.

Empunya bernama Mbah Kani. Perempuan yang hampir berusia 90 tahun. Oleh sebab lokasi lapak boganya berada di Dusun Suwareh, Desa Brabowan, Kecamatan Sambong, parapan beliau menjadi Kani Suwareh.

Karena usianya sepuh, kini dalam menjalankan usaha warungnya dibantu oleh anak dan keponakan. Sehingga ketika ada banyak pesanan, nenek belasan cicit ini tidak kelelahan.

Namun, soal menu dan citarasa yang dijajakan, tidak bisa dibilang sederhana.

Aneka sajian kuliner ala pedesaan dimasak dengan cara tradisional, mengkaryakan tungku perapian dari tanah liat berbahan bakar kayu. Karena metode konvensional itulah mampu menjaga ‘natural taste’ yang jarang ditemukan di perkotaan.

Ragam menu diracik. Nasi pecel pincuk godong jati, lontong opor, asem-asem jeroan, lontong tahu, ayam ungkep bumbu pedas, hingga minuman kopi kothok.

Dan tentu saja, lontong opor tetap jadi ‘premiere dish’ lantaran resepnya asli kreasi Mbah Kani sendiri.

Oleh tangan terampilnya, ayam kampung fase ‘kemanggang’ diolah sedemikian rupa menjadi sayur opor berkuah santan dengan cita rasa pedas, gurih dan segar. Sangat padu dinikmati dengan sebungkus lontong yang kental aroma sedap daun pisang sebagai casing-nya.

Resapan bumbu ndeso merasuk hingga ke serat daging ayam terdalam. Sungguh-sungguh klimaks dalam setiap kunyahan, sungguh-sungguh memuaskan pencernaan.

Banyak kebaikan terkandung di dalam lontong opor Mbah Kani Suwareh ini. Tak kalah dengan lontong opor Pak Pangat Ngloram.

Sama-sama juara! 👍👍

Hanya saja poin Pak Pangat unggul tipis. Dia menang secara branding dan pamor di mata orang luar Blora.

Sarapanku, energiku!

TanSu Kemayoran; Kudapan Tradisional di Kota Metropolitan


“Saya lagi off, Om Didik,” ujar Mas Torik Sj . “Kemarin jalan 7 PP, sekarang giliran libur,” lanjut driver AKAP yang kini berkhidmat kepada PO asal Cikedokan, Cibitung.

“Oke, Mas, pulang kerja saya ke Kemayoran ya,” tanggapku.

***

“Dulu namanya tanbok, ketan kobok. Karena kebanyakan orang makan memakai tangan. Jadi mereka akan cuci tangan dulu di kobokan yang disediakan,” tutur seorang pelayan kedai kecil di ujung Jalan Garuda, yang dulu dirintis oleh H. Sukrad, tahun 1958 silam.

Awalnya, pangsa pasarnya ditujukan bagi tukang becak, sopir angkot dan bus, bahkan para pilot yang pulang larut malam. Komoditas dagangannya ketan putih biasa dan aneka gorengan, semacam tempe, pisang, ubi dan singkong.

Sampai suatu ketika, salah seorang pelanggan memesan sepiring ketan putih, lalu dia juga meminta susu cair, dan selanjutnya langsung dituangkan di atasnya.

Ide itu yang akhirnya ‘immortal’ sebagai sebab musabab lahirnya ketan susu. Yang kemudian disingkat tansu.

Memang sih, dari beberapa kali aku mengudap di sini, ketannya memang juara. Hidangan dewa khas Betawi!

Jenisnya adalah beras ketan asli Subang, murni tanpa dicampur beras lain.

Usai matang ditanak, ketan yang mengepul panas disajikan dalam wadah anyaman bambu. Harum semerbak ketan menguar, menyesaki udara dan membangkitkan selera.

Teksturnya tidak terlalu lembek, tidak pula terlalu pera atau keras. Levelnya berada pada maqom pulen. Pasti ada proses pengaronan yang sempurna di belakangnya.

Selanjutnya dimahkotai taburan kelapa parut dan sebagai pungkasan dikucuri susu kental manis yang melumuri bulir-bulir ketan. Legit, kenyal, gurih dan manis saling bertubrukan dalam tiap gigitan.

Sebagai obat seret kerongkongan, disediakan minuman hangat mulai teh poci, kopi tubruk, kopi susu dan jeruk panas.

Bangunan warung legendaris yang sederhana, (maaf) reyot, berjubel, nyempil dan tersembunyi tidak menyurutkan antusiasme pengunjung untuk mengudap ketan susu di tempat.

“Mas, nama warungnya apa sih ini?” tanyaku lagi karena tak ada label spesifik sebagai identitas.

“Terserah apa kata yang beli, Mas,” tandas pelayan.

Memang sih, ketan susu adalah cemilan yang merakyat, egaliter, serta murmer, santapan pas buat menemani malam di ibukota.

Di sini, ceban wareg dan bahagia. Dijamin! 🤗

Singkatnya, ini kuliner tradisional di tengah kota metropolitan. Best street food in Jakarta, i think! 👍

Jika diselenggarakan polling dengan pertanyaan,

Apa yang paling ikonik melekat di ingatanmu tentang nama Kemayoran?

1. Bekas Bandara

2. Arena PRJ (Pekan Raya Jakarta)

3. Julukan Persija; Macan Kemayoran

4. Pul Damri

5. Jalan Benyamin Sueb

6. Mal Mega Glodok

7. Wisma Atlet

8. Kantor ticketing Garuda Indonesia

9. Monumen ondel-ondel

ataukah…

10. Ketan susu

Aku yakin, jika disodorkan ke komunitas ‘susah kenyang dikit-dikit lapar’, pilihan buncit lah yang jadi pertaruhan. 😁

***

“Om Didik, ini miniatur truk Hyundai-nya. Saya dapatkan pas gawe di sana,” terang Wong Ngapak itu. “Mestinya saya yang anter ke Priok, eh… malah Om Didik yang ngambil sendiri ke sini,” pungkasnya.

Sekali merengkuh miniatur, dua tiga porsi tansu terlampaui.

😀

Kopi Santen; Legacy Mbah Sakidjah


“Mah, ngopi santen Mbah Kijah, yuk!” ajakku usai acara shopping for healing di sebuah swalayan di pusat Kota Blora.

***

Wow, incredible!

Setelah terhalang pandemi, ini kali pertama aku remedial cangkrukan di warung Sakijah, penyuguh hidden beverage berjuluk kopi santan itu.

Terakhir kali nyeruput di sana bareng tetamu jauh, Kak Raditya Omenk Kurniawan , Mamase Praba Prathama dan Kang Jefry Shaimy Ahmad , usai sowan ke Mbah Lasiyo, sesepuh suku Samin Klopodhuwur, 2019 silam.

Waktu itu, wujud warungnya sangat sederhana kalau tak patut disebut ala kadarnya.

Rumah berbilik kayu dengan atap model kampung srotongan ala tempat tinggal warga pinggiran hutan.

Tapi lihatlah sekarang!

Bangunan lamanya telah dipugar bahkan diperluas hingga rumah limasan utama milik 2nd generation Mbah Sakijah. Kini tampil lebih modern, artistik, dan hype dengan kualitas material tectona yang hi-grade. Kayu tuwo, jati antique.

Tata letak perabotannya makin rapi dan berjarak. Bisik-bisik dan gibahan kita tak terdengar tetangga meja. Makin cozy buat hang out berjam-jam. 😁

Soal keramaiannya, pengunjung datang dan pergi, silih berganti. Tak ada istilah sepi. Bak dapat pacar, jadi mantan dan dapat kekasih baru lagi.

Bahkan cangkrukan ngopi yang selama ini identik dengan gaya hidup kaum lelaki, dipatahkan kedatangan ibu-ibu sosialita.

Mengulang yang pernah aku tulis, secara prinsip, kopi santan Mbah Sakijah hampir serupa dengan kopi kothok pada umumnya, yakni dari biji-biji kopi robusta yang disangrai kemudian digiling sehingga menjadi bubuk kopi yang siap diracik.

Yang jadi letak pembeda pada komponen air seduhannya. Keluar dari pakemnya, kopi santan diseduh bukan menggunakan air panas melainkan dengan santan kelapa.

“Santan yang dipakai untuk menyeduh kopi dibuat dadakan, Mas. Jika ada yang memesan kopi santan, barulah kelapa diparut kemudian diperas,” terang Mak Kani, putri Mbah Sakijah.

Santan segar intisari buah kelapa itu lalu dicampur dengan bubuk kopi dan gula. Selanjutnya direbus dalam panci kothok sambil terus diaduk tanpa henti agar hasil seduhannya tercampur sempurna.

Saat bibir menyeruput, aroma kopi begitu khas. Kombinasi antara kopi, santan segar dan gula benar-benar memadukan rasa pahit, manis dan gurih yang pas menyatu. Konon, gula yang larut karena direbus memberikan kualitas manis yang berbeda jika hancur karena aduk.

Ah, minuman nirwana ini memang mantap!

Kopi yang yang mengkaryakan air santan sebagai pengganti air panas sangatlah novelty dan super kreatif dalam dunia perkopian nusantara. Hal yang membuat almarhum Pak Bondan Winarno, pegiat dunia kuliner, sampai kepincut mencoba keunikan rasanya.

“Sejak Pak Bondan ke sini, membawa berkah, Mas. Warung kami makin ramai, sekarang kami memperkerjakan belasan pelayan,” ungkap Mak Kani kemudian.

Itulah kemuliaan serta maqom seorang ahlinya ahli kuliner, Bapak Bondan Winarno.

Legacy jejak kaki di tempat-tempat kuliner yang disinggahinya mendongkrak kemonceran masakan/ minuman kampung jadi kelas dunia.

Dan selanjutnya mendongkrak pula taraf kehidupan dan kesejahteraan si empunya.

Kalau bukan andil orang hebat macam maestro boga tanah air, barangkali warung ndeso itu tetaplah zero. Middle of nothing.

Salam seger waras!

Barracuda Barbeque


Bagi penyimak dunia akuatik, pastilah tak asing dengan pemandangan biota bawah laut yang mempertontonkan ribuan ikan sedang membentuk pusaran atau tornado raksasa.

Itulah trik serta strategi untuk memproteksi diri dari ancaman pemangsa seperti tuna, lumba-lumba dan hiu, sebab mereka hidup secara komunal. Guyub, berkelompok, dan rukun bareng-bareng.

Nah, dipastikan makhluk laut tropis yang punya habit, kultur, fitrah dan perilaku seperti itu adalah ikan barakuda.

Aku awalnya heran lagi takjub, saat menandangi sebuah warung di pinggir laut, seorang pelayan menawari sajian ikan bakar berbahan Barakuda. Lazimnya ya bawal, kerapu, kakap, baronang, dorang, cungkilan, atau bandeng.

Lalu aku minta izin untuk melihat cooler box sebagai storage temporari. Kala dibuka, wow….ukuran spesies bernama latin Sphyranea Barracuda itu tergolong jumbo. Panjangnya lebih dari 1/2 m, bobot 10 kg. Kalau cuma untuk memenuhi ruang lambung aku dan Nyonya, ya turah-turah!

“Rasa dagingnya bagaimana, Mas?” korekku agar tak kaget ketika nanti hasil bakarannya berkenalan dengan ujung lidah ini.

Oh iya, kedai pesisir ini bernama Warung Ikan Bakar Pak Fauzi. Arealnya berada di komplek pelabuhan tradisional Teluk Regol Binangun, tak jauh dari pasujudan Sunan Bonang. Tak susah mencarinya karena persis berlapak di pinggir jalur utama Semarang-Surabaya.

Meski bangunan sederhana dan tak begitu luas, tapi soal nama, rating, reputasi serta review, Pak Fauzi ini meroket. Bukan cuma pelintas antar kota atau para peghobi seafood yang mampir, bahkan tamu-tamu Pemkab Rembang acapkali dijamu di sini.

The best in Dampo Awang Land, konon dikata orang. Lantaran ikan yang diolah dalam kondisi segar, yang baru saja dibongkar dari kapal-kapal nelayan yang pulang melaut. Fresh from boat!

“Benar kata Mas-nya ya, Mah. Profil dagingnya lembut, gurih, sedikit kenyal, light di lidah. Juicy di dalam, lazis di luar. Sambal kecap plus sambal uleknya juga wow. Enak kan, Mah?” pujiku sembari meminta second opinion pada Dek Bojo soal Barakuda ini.

“Setubuh, eh…setuju lah, Pah!”

Ah, andaikan ada komunitasnya, aku langsung submit ke BMC, BarracudaMania Community! 😂

“Setelah berhenti jadi nelayan, Bapak merantau ke Bali, jadi tukang bakar ikan di restoran besar, Mas. Mulailah Bapak terampil memasak,” tutur Ardi, putra ke-4 Pak Fauzi, disela aktivitasnya membakar ikan. “Dua tahun kerja di sana, Bapak memutuskan pulang dan membuka warung ikan bakar di kampungnya sendiri. Itupun sebenarnya masih digondeli bosnya, Mas. Bahkan dikasih iming-iming mobil Avanza agar bersedia bekerja kembali pada dia. Tapi Bapak tetap menolak,” pungkasnya.

Itulah awal leaping kehidupan Pak Fauzi, hingga punya usaha boga yang kondang dan moncer.

Sebagai epilog, lantaran ikan nokturnal ini memiliki anatomi yang ndak good looking, — kepalanya ‘mbendel’, rahang mulut bawahnya monyong, bibirnya ‘ndomble’, giginya tonggos, tajam dan berantakan –, keseraman wajah hewan predator ini menginspirasi penamaan salah satu kendaraan taktis milik Kepolisian.

Rantis Barracuda, sebutannya.

Kepo Nasi Kapau


“Doyan enggak masakan Padang, Cak?” gurauku pada kawan Bismania Community asal Jombang, yang aku kenal kala zaman mailing list dan yahoo messenger. 😁

***

Secara administrasi, kampung kecil itu dipangku oleh wewengkon Tilatang Kamang, sebuah kecamatan di Kabupaten Agam, tak jauh dari Kota Bukittinggi.

Nagari dengan luas 5.54 km2 mempunyai lansekap alam berupa persawahan dan perbukitan yang eksotik khas Ranah Minang.

Sejak masa kolonial, masyarakat Minangkabau, khususnya para suami atau kepala keluarga, memiliki tradisi merantau dan berdagang hingga jauh keluar pulau.

Para istri atau wanita yang ditinggal ng-urban lalu mendirikan lapau untuk membantu perekonomian keluarga, dengan mengaryakan kepiawaian mereka dalam urusan masak-memasak.

Kemudian terciptalah menu nasi ramas ala Nagari Kapau, yang lebih ringkas dengan sebutan nasi kapau.

Konon, nasi kapau adalah racikan genuine dari nasi padang.

Model penyajiannya tak pernah berubah dari era dulu. Puluhan macam lauk dalam wadah saji disusun bertingkat dengan posisi penjual lebih tinggi dari ‘etalasenya’. Uni atau Uda pelayannya mengambil lauk-lauk itu menggunakan sendok panjang dengan batok kelapa di ujungnya. Sedangkan pembeli duduk di tempat yang lebih rendah.

Unik dan punya kearifan lokal tersendiri, tak persis sama dengan nasi padang.

Untunglah, bagi warga ibukota yang demen nasi kapau tak perlu jauh-jauh terbang ke sana. Terbawa oleh budaya merantau etnik Minang, di Food Street Kramat, Kawasan Pasar Senen, dengan mudah didapat kuliner Sumatera Barat itu.

“Uda, pesan nasi kapau, jangan lupa gulai kapaunya, lauknya pakai gulai tambunsu sama ikan baluik. Sambal lado hijau sikit saja,” rinciku pada pramusaji kedai nasi kapau Hj. Zaidar.

Yang jadi concern dan fokusku tentunya gulai tambunsu, yang hanya dijumpai di lapak nasi kapau.

Pengistilahan gulai tambunsu merujuk pada olahan usus sapi atau kerbau yang disisipi isian tahu dan telur kocok di dalamnya, kemudian dimasak dengan kuah santan berbumbu. Bentuk profilnya yang padat, montok dan gemoy itu yang bikin mata mengerling. 😍

Saat digigit, ‘sosis jumbo’ ala dusunnya Datuk Maringgih itu memberontak dengan tekstur kenyal kulit ususnya. Namun ketika berlanjut dikunyah, menguarkan rasa pedas, gurih santan dan spicy oleh bumbu rempah nan seterong, khususon kunyit.

Lamak bana, sabana asli! 👍

***

Nah, bukan hanya gulai tambunsu yang bikin spesial, seseorang yang aku ajak dine in ini juga spesial. Masih tertinggal bau semerbak kembang melati di tubuhnya bekas riasan pengantin baru.

Wangi, Bro! 😁

Tepat sehari sebelum hari raya lebaran haji kemarin, pecinta bus Lorena itu menyunting gadis Purworejo, tetangga Iwan .

“Aku hanya bisa atur selamat dan barakallah ya, Cak Akhmadadzin . Dan sepuntene, tak bisa hadir di acara ijab dan resepsinya.

Pandongaku, mugi awakmu guyup rukun andum katresnan nganti purnaning mangsa, kaanugerahan putra-putri ingkang luhur ing budi, bale wismane tansah kalimpahan berkah lan rahmating Gusti, dipun gampil wasilahe mbangun kaluwarga samawa.

Amin…🤲