Arsip Harian: 1 Juli 2009

BMC Jelajah Bumi Rembang (1); Geliat PO-PO Kota Garam


Hawa segar semilir angin dari puncak Argopuro dengan ramah menyapa rombongan Bismania Community (BMC) saat menjejakkan kaki di pusat kota Lasem.  Kota kecamatan di sebelah timur Kota Rembang ini sengaja dipilih sebagai tujuan kunjungan BMC, karena Lasem turut memberikan andil sejarah bagi perkembangan dunia transportasi darat di tanah air. Kota yang berjuluk “Litle Cantoon”  merupakan tempat kelahiran PO yang cukup legendaris, yaitu PO Artha Jaya, PO Indonesia, PO Kaloka serta PO Tri Sumber Urip, disamping angkutan ekspedisi, Hasil Lasem.  

 

Berawal dari chatting room antara penulis dengan Mas Hary Budi Wijaya saat membahas caper Ada Cerita dari Balik Gubuk Derita, akhirnya terbesit niat kami berdua untuk “mengetuk pintu”, bertamu ke pool PO Tri Sumber Urip (TSU). Bukan hal yang sulit, sebab arek Suroboyo ini memiliki kemudahan akses dengan owner TSU karena tidak lama lagi Mas Hary akan menjadi bagian dari keluarga besar PO TSU.

 

Setelah mendapatkan permit dari pemilik TSU, meski “proposal kunjungan” hanya secara lisan, kami sepakat menaikkan acara dadakan ini menjadi agenda kegiatan BMC, khususnya BMC Jateng Utara (Jatut). Bak gayung bersambut, Mas Ferry selaku Ketum BMC Jatut merespon dan memasukkan kunjungan ke TSU ini sebagai gawe resmi BMC.

 

Berdasar persetujuan dari pihak TSU, acara ini  dihelat pada hari Minggu, tanggal 14 Juni 2009.

 

Tri Sumber Urip, “Survive” Berkat Persaingan

 

Pintu gerbang bercat hijau pudar seakan hangat menyambut langkah kaki kami ketika memasuki areal pelataran pool TSU yang berada di pinggir daerah pecinan, Karangturi, Lasem. Sebelumnya kami sempat diwanti-wanti Bapak Paryono-selaku pemilik TSU- via Mas Hary, bahwa kemungkinan besar kami kurang beruntung menangkap fisik armada TSU karena sowan kami menjelang musim liburan sekolah, sehingga banyak bis yang di-charter wisata. Namun, Dewi Fortuna memayungi kunjungan kami. Tampak tiga armada TSU sedang standby, masing-masing bis bumel Lasem-Semarang yang dikaryakan sementara untuk pariwisata berbaju Laksana tipe Panorama, bis AKAP Tuban-Jakarta berwajah Sprinter produk Laksana dan “Si Pinky” dengan kostum Jupiter Li sentuhan Karoseri Tentrem.

 

Pertama kali, kami diterima oleh Om Ang dan Pak Kasimin, yang berprofesi sebagai mandor lapangan. Dalam acara ramah tamah dengan wakil TSU, kami mendapatkan informasi bahwa sekarang ini, kekuatan armadanya mencapai 40-an unit, meliputi 18 unit bermesin Hino baik dari generasi AK, RG hingga RK8 dan selebihnya Mercedes Benz, mulai era OH King, OH Intercooler dan “armada generik”, XBC-1518. Bahkan, Om Aang membeberkan berita, bahwa TSU sedang menunggu kiriman chasis MB 1525 dari pihak dealer MB.

 

Keponakan dari owner TSU juga menambahkan, saat ini pengoperasian bisnis angkutan bis tinggal menyisakan trayek bumel Lasem-Semarang, AKAP Bangilan/Tuban-Jakarta serta divisi pariwisata.

 

Tak berselang lama, seorang Bapak nan bersahaja datang dengan sepeda motor butut. Penampilannya pun sederhana, mengenakan kaos kasual dan beralas kaki sandal jepit. Kami dikenalkan Pak Kasimin, bahwa beliau adalah Bapak Paryono. Kami tak menyangka, sungguh low profil, sederhana dan jauh dari kesan seorang bos PO.  Beliau tak segan berbaur dengan karyawannya di pool dan turun langsung di lapangan.

 

Setelah berjabat tangan dan perkenalan, kami pun menjelaskan maksud kunjungan, mempromosikan BMC dan menjalankan salah satu misi BMC yakni menjalin kerjasama dan berpartner dengan para pemilik PO. 

 

Bapak Paryono, yang kerap dipanggil Koh Tho (baca : do) dengan antusias menjamu rombongan BMC.

Owner TSU

 

“Saya kaget saat Mas Hary menyampaikan rencana, dia dan teman-temannya berkunjung ke TSU. Ya…maklum, kondisi pool kita acak-acakan dan kotor begini. Jauh dari bayangan teman-teman Bismania, pool yang bersih, rapi dan tertata. Kita sedang melakukan renovasi bangunan ini. Harapan saya, semoga nanti saat kunjungan berikutnya, pool ini semakin cantik”, paparnya dengan gaya bercanda.

 

Seperti yang dituturkan, awal rintisan usaha TSU adalah bisnis angkutan truk barang yang didirikan oleh ayahanda Koh Tho. Pada tahun 1976, oleh Koh Tho, perusahaan ekspedisi dilebarkan sayapnya merambah usaha angkutan bis dengan nama PO Sumber Urip. Armada yang dipunya saat itu adalah Ford tipe D yang berbodi kayu dan melayani jurusan Kudus-Surabaya.  Jalur Pantura kala itu masih sepi dari hingar bingar persaingan bis. Kompetitornya hanya PO Marsadam, Indonesia, Adam dan Kaloka. Semua bis hanya beroperasi siang, karena belum jamak lumrah penumpang bepergian malam hari. 

 

Langkah selanjutnya adalah penambahan armada dengan Mercy LP 911. Termasuk saat di-launching OF 1113, TSU termasuk PO pertama yang  mencicipi.  Tak bisa dibantah, saat itu TSU boleh berbangga diri, karena inilah PO dengan trayek pendek pertama yang memakai mesin buatan Jerman dilengkapi dengan pendingin udara. Lebih maju selangkah dibanding dengan PO Artha Jaya, bis malam Lasem-Jakarta, yang belum mengaplikasikan Air Conditioned (AP). Dengan tambahan armada ini, trayek baru pun digulirkan, yakni Lasem-Tegal. Puas mencicipi armada Mercedes Benz, di tahun 1982, TSU mencoba pertaruhan dengan melirik Mesin Hino seri mesin BX.

 

“Sejak itu, kita hanya mengandalkan mesin Hino dan Mercy. Dahulu, saya sengaja mengadu dua mesin ini, dan kesimpulannya, ada nilai plus serta minus. Demikian pula untuk urusan karoseri. Kami telah merasai buatan Morodadi Prima, Laksana, Tri Sakti dan Tentrem. Tentu dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.  Kami tengah menjajaki karoseri Rahayu Sentosa untuk unit teranyar. Yang saya dengar, pengerjaannya tidak terlampau lama dan secara model, saya juga suka, luwes dan elegan, apalagi yang model Evolution. Kami ingin, sebelum lebaran, armada baru kami sudah siap”, ujarnya berbagi ilmu dan wawasan secara terbuka kepada BMC, berbekal pengalaman selama 30 tahun lebih menangani PO kebanggaannya.

 

Seiring berjalannya waktu, PO-PO bermunculan dan karena kekurangsinergian antar propinsi dalam  pengaturan jam keberangkatan bis dari terminal, membuat persaingan trayek Kudus-Surabaya tak terkendali.

 

“Contohnya bis saya yang telah mendapatkan prime time, jam-jam bagus. Tahu-tahu PO dari propinsi lain mendapatkan trayek dengan jam yang nyaris sama, bahkan hanya beda satu menit. Kita dipepet depan belakang secara rapat, sehingga feeling saya, terjadi persaingan tidak sehat. Apalagi TSU ini terhitung PO kecil, sehingga susah bertahan dalam desakan PO besar. Senasib pula dengan bis bumel Lasem-Semarang sekarang ini, yang tak kebagian penumpang. Semua diseser bis AKAP Surabaya-Semarang. Kami tetap paksakan jalan, karena saya juga harus memikirkan nasib kru bis. Soal keuntungan tidak perlu dibicarakan,” kenangnya dengan ekspresi muram.

 

“Akhirnya kami memutuskan menutup trayek Surabaya dan membuka trayek Jakarta di akhir tahun 1990. Dan nama Sumber Urip kita imbuhkan kata Tri di depannya, menjadi Tri Sumber Urip. Sebagai penanda, tahun itu kita tampil dengan semangat baru. Itupun sebenarnya langkah nekat, karena jalur tersebut juga telah dijejali trayek PO lain. Bisnis bis pun tak kalah sengit. Kalau tidak membunuh, ya bakal dibunuh. Namun saya yakin, selalu ada jalan dalam sengitnya persaingan,” tandasnya penuh optimis.

 

Bisa dinilai, periode saat ini adalah masa keemasan PO TSU. Setelah mengakuisi trayek dan armada tetangganya, PO Artha Jaya dan PO dari Tayu, Pati, Madu Kismo, dua tahun ini, PO ini rajin meremajakan armada lamanya dengan pembelian bis-bis tambahan, baik yang 0 kilometer maupun bis seken. Divisi pariwisatanya juga sedang berkibar. Banyak agen dan biro wisata menjadikan TSU sebagai mitra dalam menyediakan armada untuk paket wisata yang ditawarkan. Terlebih sekarang livery PO yang memiliki karyawan hampir mencapai 100 orang ini makin eyecatching dengan label “Pinky”, merayu mata calon pengguna jasa TSU, ikon moderen “kota dua budaya” ini.   

 

Kami pun dipersilahkan untuk menjelah isi pool dan melihat detail armada yang sedang “off tugas”. Kami tak melewatkan kesempatan ini dengan berfoto bersama, mencumbui armada dan memasang sticker BMC di armada TSU. Di hangar raksasa yang sedang tahap dibangun, kami menyaksikan sebuah armada model Celcius RS eks PO Efisiensi yang sedang menjalani proses air brushing, ganti stripping.

Foto Bersama Owner TSU

 

Di ruang belakang, kami menemukan chasis armada jadoel yang dipakai PO Artha Jaya dan beberapa bangkai komponen bis. Seolah melukiskan rangkaian waktu nan panjang dalam menemani kiprah PO TSU dalam kancah bisnis angkutan bis di bumi Jawa.

 

Saat kami berpamitan, ada perasaan bangga dan satu ucapan kata “salut” yang pantas dialamatkan kepada PO TSU. Meskipun PO dengan status medioker yang dimiliki orang kampung, tapi cara Om Tho menangani perusahaannya dengan penuh totalitas, pantang menyerah dan tak gentar menghadapi ketatnya persaingan dengan usaha sejenis, membuat kami  menyanjungkan apresiasi, bahwa Bapak Paryono layak ditokohkan menjadi pengusaha bis yang sukses mempertahankan kerajaan bisnisnya.

 

 

Lontong Tuyuhan, BMC meng-klik http://www.selalulapar.com.

 

Perlahan tapi pasti, hari merambat siang. Dan saat itu kami harus aspiratif terhadap tuntutan perut yang berangsur berteriak, “Lapar…!!!”. Perjalanan rombongan BMC diarahkan ke tempat wisata kuliner Kota Lasem, yaitu lontong tuyuhan. Wisata PO takkan lengkap tanpa wisata kuliner. Begitu dalih kami.

 

Di kedai nan sederhana yang terletak di kaki bukit Bugel, Lasem, di tengah areal persawahan dan kebun tebu, rombongan BMC mencicipi warisan masakan jaman Sunan Bonang saat menyebarkan ajaran Islam di daerah pantura timur Jawa Tengah.

 

 

Sedikit menginformasikan. Sebenarnya, lontong tuyuhan tidaklah jauh berbeda dengan opor ayam. Kekuatannya berada pada kuah santan yang lebih kental, gurih dan pedas hasil olah tumis cabai merah dan jahe, dengan sedikit tambahan kecap manis, serta perpaduan rasa rempah-rempah kemiri, bawang merah, bawang putih, lengkuas, kemiri, ketumbar, kencur, pala, dan kunyit.

 

 

 

Namun, dengan menikmatinya sambil berwisata alam, menghadirkan citarasa dan kelezatan yang lebih dengan opor ayam biasa.

 

“Maknyuss…” komentar Mas Ferdy, BMC dari Kota Pati, saat selesai melahapnya.

Selalu Lapar

 

Dalam suasana menyantap lontong tuyuhan yang kenikmatannya khas dan unik ini, kami semua berembug dan spontan lahir gagasan untuk berkunjung ke PO fenomenal “Subur Jaya”.

 

Karina; Cinta Lamaku Bersemi Kembali (3)


Pak Jajang, Ustadz yang Membawa Kedamaian

 

Kemudi diambil alih oleh driver kedua. Namanya Pak Jajang, eks sopir Sinar Jaya. Beda dengan Pak Samir, Pak Jajang lebih garang dalam menginjak gas dan mode safe dalam mentake over kendaraan lain. Bawanya tak kalah lembut dan setiap kali bergoyang, bodyroll bis tidak membuat penumpang terguncang. Saya menduga, dilihat dari keterampilannya, sopir yang akrab dipanggil Pak Haji ini pastilah sopir senior dan berjam terbang tinggi.

 

Jalan pantura yang tak rata dan berlubang, tak menghilangkan ayunan lembut suspensi leaf spring dari kaki-kaki bis ini. Bagi Pak Jajang, sebelum menapaki medan jalan di hadapannya, dihitung dengan hati-hati, matang dan cermat. Tidak asal main libas.

 

Tetap, kisaran kecepatan bis di angka 80 km/jam, karena inilah rentang kecepatan ekonomis, agar nanti tidak tekor dalam penggunaan solar. Namun, untuk jalan non tol dengan kondisi lalu lintas yang ramai, kecepatan ini sangatlah high speed dan membuat jantungku berdebar-debar. Aku memang memprioritaskan kenyamanan daripada kecepatan bis, makanya jalan cuma “segitu”, sudah terasa kencang dan mengkhawatirkan. 

 

Satu kursi yang tersisa, diisi penumpang dari agen Terminal Tegal. Full seat, yang berarti, meski kecil, kru akan mendapat limpahan komisi dari kantor.

 

Bis yang baru 10 bulan beredar ini pun berhenti di Polsek Subah. Ada satu bis Karina diamankan polisi, karena malam sebelumnya terlibat insiden dengan bis Solo. Konon, tidak ada kata sepakat antar pengurus PO, sehingga jalan mediasi ditempuh lewat jalur hukum. Pak Jajang berniat menemui kru bis Karina yang naas, sekedar mendrop perbekalan serta unjuk solidaritas sesama kru.

 

Mulai dari sini, kuisi waktu perjalanku dengan ngobrol bersama Mas Amat dan sesekali ditimpali Pak Jajang. Banyak hal yang mereka ceritakan, termasuk status Lorena-Karina yang saat ini dibilang “terlena” dan over confidence menghadapi persaingan bisnis transportasi darat yang kian sengit. Nyala sinar si Ijo yang meredup pun dirasakan oleh para kru. Hanya mereka yang berloyalitas dan berdedikasi tinggi yang masih setia bergabung dengan PO yang sekarang dipimpin Pak Ryanta ini. Termasuk Pak Jajang dan Mas Amat ini.

 

“Bos kami sudah lolos masuk dewan dan nantinya sibuk di sono, Mas. Rencananya bakal ada perombakan manajemen. Isunya Pak John (divisi ESL) yang akan menjalankan bisnis AKAP. Semoga, bakal ada angin segar dan perubahan berbekal segudang pengalaman Pak John”, kata Mas Amat dengan optimis tentang masa depan PO Lorena-Karina.

 

 

“Untuk sekarang, tidak usah berharap jalannya bakal seperti Lorena dulu, Mas. Prinsip kita, bisa mengantarkan penumpang dengan selamat dan tepat waktu, adalah kebanggaan tersendiri. Toh, buat apa jalan banter. Enakan bawa bis ya gini. Tenang tapi pasti. Coba Mas liat, penumpang saya pulas tidur kan Mas?” imbuh Pak Jajang dengan bijak. Saat kutoleh ke belakang, semua penumpang terbuai oleh mimpinya masing-masing. Inilah buah dari gaya menyetir Pak Samir dan Pak Jajang, elegan dan calm.

 

 

Selanjutnya, Pak Jajang banyak membagi ilmu dan cerita tentang kehidupan. Pengetahuan dan wawasannya begitu luas, perjalanan hidupnya di jalan raya begitu panjang. Aku hanya mengangguk-angguk saja saat beliau memberi nasehat dengan kalimat yang mencerahkan dan menginspirasi hidup. Layaknya motivator ulung sekelas Mario Teguh. Sebenarnya bukan maksudku mengajak bicara dengan sopir, tetapi Pak Jajang sendiri yang senang bertemu teman ngobrol, sehingga bisa membunuh kebosanan dalam menjalankan profesinya.   

 

Dari Subah hingga Demak, tak putus kami bertiga melakukan “konferensi”. Ternyata, ganasnya hidup di jalanan melahirkan sosok-sosok arif dan bijak seperti yang ditunjukkan Pak Jajang dan Mas Amat. Aku jadi merenung, bisakah hidupku sedewasa mereka nantinya?

 

Karena sudah didera kantuk, aku pamit kepada Pak Jajang dan Mas Amat. Mas Amat sendiri langsung menggelar lapak di smooking room, meninggalkan Pak Jajang dalam kesendirian bertugas.

 

Dalam tidur ayamku, terdengar lirih kalimat dzikir yang dilafalkan Pak Jajang. Itulah cara beliau mengisi waktu dalam bekerja, selalu mengingat Sang Pencipta. Membawa suasana kedamaian di tengah malam.

 

“Kita tidak tahu apa yang bakal terjadi di jalan Mas. Musibah itu dekat, hanya berpasrah diri kepada-Nya yang membuat saya tenang saat mengemudi”, terngiang kembali kata-kata beliau saat pembicaraan tadi.

 

Hiks… aku jadi terharu dan trenyuh dengan kata-kata beliau. Andai semua kru bis bersikap dan berpikiran jernih seperti Pak Jajang, nafas temparen dan hawa keras jalan raya hanya akan menjadi kisah masa lalu yang terkubur dalam-dalam.

 

 

Ah, tanggung daripada tidur. Kunikmati perjalanan akhir sebelum mencapai Kota Rembang dengan menikmati kelihaian Pak Jajang dalam menerbangkan MB OH 1525 ini. Sayang kalau miss it. Dan satu yang tetap lestari, Royal Coach E ini tetap berlari, berlari dan berlari.  

 

Rembang (6/6), Virus CLBK itu Datang

 

Tepat pukul 00.45, Karina berhenti di depan Taman Rekreasi Pantai Kartini. Kuucapkan kata terima kasih kepada Pak Jajang yang telah selamat mengantarkan kerinduanku pulang ke rumah.

 

Saat deru mesin OM 906LA hilang di kesunyian malam Kota Rembang, sejenak aku tertegun. Normal, waktu tempuh Jakarta-Rembang 13 jam, dengan pelayanan yang tidak setengah-setengah dalam memuliakan penumpang. Bukan hanya pesona armada yang kurengkuh sepanjang perjalanan, tapi bis inilah yang mempertemukanku dengan ustadz sesaat bagiku, Pak Jajang.

 

Andai saat ini aku ditanya, benarkan armada Lorena-Karina turun pamor dan service bintang lima-nya mengalami degradasi? Dengan tegas akan kujawab, “Absolutely, not…Masih ada armada yang memancarkan pesona dan aura legenda kejayaan masa silam Lorena-Karina.” Itulah yang ditegaskan oleh KE-552 ini, yang baru saja berpisah denganku.

15

Cinta Lama-ku, bersemi kembali. Sinyal kebangkitan si Ijo dari Tajur? Semoga…

Karina, Cinta Lamaku Bersemi Kembali (2)


Jumat siang (5/6), Armada Hadirkan Pesona

Karena tinggal 5 menit lagi Karina diberangkatkan (jam 11.30 WIB), dengan tergesa-gesa kuturun dari angkot KWK 06. Dengan setengah berlari, kutuju agen Karina. Sayang, parkiran bis Madura-an ditutupi lautan armada PO Primajasa. Kuputar arah lewat jalan belakang, sambil melewati deretan bis yang masih satu grup dengan Mayasari Bhakti ini. Tampak pantat Pahala Kencana putih berlivery kupu-kupu. Selangkah lagi terlihat Hino RG Kramat Djati. Dan…Olala…!!!

 

Tampak list kaca belakang melengkung ala Adi Putro, bentuk tonjolan velg khas OH 1525 serta buritan belakang berkelir hijau, merah, kuning tertangkap mata. Inilah bis yang aku impi-impikan, New Travego Adi Putro. Bergantian rasa suka cita, gembira dan eforia yang menyemburat dari lubuk hati.

 

Setelah check in dan boarding di agen…

 

Sejenak kunikmati detail lekuk eksterior bis berplat nomor B 7966 IW ini. Body masih mulus, wetlook dan perfect, mengusung chasis MB OH 1725, eh…1525 bermesin OM 906LA. Berpendingin udara Thermo King Mark IV yang tersembunyi di antara panel bodi ala jepitan rambut. Suara khas mesinnya yang serak-serak kering, seolah berkoar-koar tentang kenyamanan armada Mercedes Benz.

 

Bismillah…saat kujejakkan kaki ke tangga bis. Wow…!!!

 

Tiba-tiba takjub. Inilah bis Madura yang paling lux yang pernah aku naiki. Interior bertema Go Green Go, cocok dengan sebutan Si Ijo. Mulai corak roof, kain gorden dan permadani yang terhampar di sepanjang selasar. Ruang kabin begitu rapi, so clean dan terkesan mewah.  Hiburan audio video memanjakan indra penglihatan dan pendengaran, dengan kelengkapan LCD TV Sharp Aquos, DVD Player dan Speaker. Full Music.

11

6

Kursi buatan Restindo, dibenamkan  piranti legrest, dengan kapasitas 34 seat, plus selimut tebal dan bantal. Di belakang, disisakan space ruang untuk smooking area. Toilet bersih dan jauh dari bau-bauan yang menyengat hidung. Tak ketinggalan alat APAR (Alat Pemadam Api Ringan) dan palu penyelamat. Meski jalur Madura hanyalah anak tiri, tapi benar-benar Karina ini mengedepankan kenyaman, keamanan dan keselamatan penumpang.  

9

Saat itu juga, runtuh bayangan kelam tentang armada Si Ijo, khususnya Karina KE 460/1 Jakarta-Bojonegoro, yang seringnya “dianugrahi” bis-bis berkostum lama dan terlihat kusam. Bagiku, bis Madura ini jauh di atas segala-galanya.

 

Sungguh Karina…armada-mu yang ini menghadirkan seribu pesona. 

 

On Board, Karina Makin Mengkilap.

 

Lagi-lagi, kursi IC paling akhir terjual, tak beda dengan Pahala Kencana Madura yang tempo hari aku naiki. Angka 3 membawa sial bagi orang-orang Madura? Hehehe…

 

Setelah terisi 31 penumpang, terlambat 10 menit dari seharusnya, bis berkode KE-552 ini take off dengan driver ber-tagname Pak Samir Fuadi. Bis langsung melenggang perlahan, hingga masuk pintu tol pelabuhan, di depan Polres Metro Jakut.

 

Uniknya, baru1 km bis berjalan, Mas Amat (kenek) telah mencetak rekor. Menegur dan mengingatkan tiga orang penumpang yang ketahuan merokok bukan di tempat semestinya. “Ck ck ck…, armada sebagus ini kurang dihargai penumpang,” bisik batinku.

 

Dan kembali, aku mengucapkan “Bismillah…,” adegan di jalan raya inilah yang paling menyita perhatian dan rasa harap-harap cemasku.

 

Pak Samir langsung mengeksekusi pijakan gas dengan mengurut. Dari perlahan, sedikit sedikit makin bertambah, hingga kecepatan di angka 80-90 km/ jam. Sepanjang tol Wiyoto Wiyono hingga Jatibening, bis meluncur cukup smooth, tidak ekstrim dalam bermanuver kanan-kiri dan senantiasa berada di jalur 1 dan 2. Lumayan…, meski sempat diasapi Mayasari Bhakti P9, Agung Bhakti P89, dan Primajasa Kalideres-Bandung.

 

Yang aku dengar dari obrolan Pak Samir dengan Mas Amat, saat jam siang, banyak PJR (Polisi Jalan Raya) mengintai dan siap menyergap kendaraan yang melanggar rules jalan raya. Makanya, meski lajur kanan (lajur 3 dan 4) kosong, beliau tidak akan mengambilnya. “Bis dan truk di lajur kiri (1 dan 2)”, itu rambu-rambu yang ditaatinya. Bukan sayang uangnya andai kena tilang, namun yang dikhawatirkan penilaian penumpang terhadap kinerja tim jalan. Para kru Karina ini tampak berusaha menjaga kondite. Memang terbukti, sepanjang tol Cikampek, terhitung 5 buah sedan ber-rotary lamp milik Polisi Metro ini mengintip, mencari pelaku pelanggaran.

 

Sebuah sikap kehati-kehatian dan kewaspadaan yang patut diapresiasi.

 

Antrian panjang terjadi di Km 50-an, saat sebuah trailer bermuatan petikemas terguling di pinggir tol. Semua kendaraan merayap pelan. Saat lepas dari kemacetan dan kecepatan mulai dipacu kembali, tak dinyana PO Sari Giri bermesin mercy tua mencundangi adiknya ini. Tak sampai lima kedipan mata, bis Wonogiri-Jakarta ini langsung hilang ditelan kepadatan arus lau lintas. Hebat…

 

Hanya perlu 1 jam 30 menit, Karina menuntaskan rute panjang tol Cikampek. Jomin hingga Pamanukan lancar meski jalan tersisa dua jalur. Jalan arah Jakarta sedang dilapis ulang untuk perbaikan menghadapi arus mudik lebaran 2009. Melintas di jalan pantura, bis ini tetap mempertahankan larinya. Seolah, jatah 570 liter Jakarta-Madura PP tidak jadi penghalang driver untuk menginjak gas. Meski RPM engine selalu ditahan di greenline (15.000-20.000), seakan tidak mengurangi putaran yang dihembuskan flywheel mesin untuk menggerakkan roda bis. Tak ada kesan irit solar, melambatkan ritme dan mengulur waktu perjalanan. Mantap dan membuatku tak berhasrat untuk tidur. Sebisa mungkin setiap kilometer aku lewatkan bersama Karina.

 

Jam 16.30, adik Lorena ini mampir di agen Plered, Cirebon untuk menghampiri 2 penumpang tambahan dan paket barang. Menurut Mas Amat, divisi ESL sedang berkibar. Tak bisa dipungkiri, divisi AKAP Lorena-Karina sedang redup, tapi tidak bagi ekspedisinya. Meski bis-bis Banyuwangi, Jember, Malang, Surabaya dan Denpasar belakangan ini kurang bagus okupansi penumpangnya, tapi pendapatan paketnya cukup profitable.

 

Tidak lama berjalan, bis berhenti di RM Aroma, Cirebon. Service makannya biasa-biasa saja, dan soal citarasa dan kuantitas, aku lebih prefer RM Taman Sari, Pamanukan. Ransum kemarin hanya nasi putih, opor ayam, sambal tahu dan sayur sop, serta segelas air mineral. Untuk urusan ganjal lambung, yah…fifty fifty lah.

 

Saat memenuhi rongga perut, terlihat dari dalam ruang makan, wow…!!!

 

Oleh cleaning sercive, Bis Karina ini dibersihkan luar dalam. Mulai pengelapan bodi dan penjernihan kaca depan, pembersihan toilet, lantai bis disapu dari kotoran dan tempat sampah yang menggunung dibuang. Selimut dan bantal dirapikan kembali, persis saat bis akan diberangkatkan. Kabin pun wangi kembali semprotan penyegar ruangan khas aroma lemon. Pengecekan mesin juga dilakukan oleh kru, untuk memastikan segala sesuatunya tetap on track. Baru kali ini aku mengalami service yang luar biasa dari sebuah bis.

 

Akankah pesona yang baru saja kurengkuh, akan kembali berlanjut?

 

(bersambung)

Karina; Cinta Lamaku Bersemi Kembali (1)


Apakah wabah virus CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) juga tengah melandaku?

 

Selasa pagi (2/6), Mendadak Kangen

 

Sudah hampir dua minggu ini aku mendekam di ibukota. Rasa kangen berjumpa keluarga menumpuk-numpuk memenuhi ruang rindu. Bagaimana membunuh ke-bete-an saat perjalanan Jumat depan, saat angan-angan keceriaan anakku menyambut bapaknya datang bergelayut di pelupuk mata?

 

Pasti…kunci jawabannya cuma satu. Bis yang membawaku pulang kampung nanti harus istimewa, spesial, mengesankan dan penuh sensasi.

 

Seketika terlintas bayangan Lorena-Karina. Sudah lama tak lagi mencumbui dua sosok manis ini. Sejatinya, bis-bis inilah bis sejuta kenangan bagiku. Awal mula pertaruhanku menjalani hidup sebagai seorang komuter, duo green ini yang kupercaya untuk sandaran ritual wira wiri Rembang-Jakarta. Gara-gara specdown kualitas pelayanan dan ketidakpastian waktu tempuh, yang membuatku ingkar dari kesetiaan.

 

Bahkan, hingga tahun keempat aku menjauhinya, image negatif bis ini belum juga berubah. Masih saja didekap penyakit lamanya. Molornya jam keberangkatan, waktu tempuh seringkali meleset jauh dari  average, pengetatan jatah solar, armada yang semakin menua dan minim peremajaan, hingga sempat tersiar kabar krisis driver gara-gara eksodus-nya para sopir senior.

 

Hmm…tak mengapa bagiku. Yang kukedepankan melepas kangen, bukan mengeluhkan celah kekurangan si Ijo. Tekad sudah membulat, aku ingin naik PO yang melambungkan nama Bapak GT Soerbakti ini.

 

Alam khayalanku langsung diselimuti Karina Tanjung Priok-Sumenep. Berkali-kali aku memergokinya menyusuri Jalan Enggano, Jakarta Utara, bis ini seakan ajeg dan fixed, bermesin MB OH 1525 karoseri New Travego Adi Putro. Ah, siapa tahu ini bis reguler?

 

Rabu siang (3/6), Membuka Selubung

Saat memarkir motor di sudut terminal, yang terletak tepat di seberang kantor PT Pelindo II, tampak terjepit di antara PK berbaju New Travego Centralindo dan Kramat Djati Setra Adi Putro, terparkir manis wajah smiley sentuhan Adi Putro. Aku semakin yakin, memang bis ini jatah harian Karina Madura dari Tanjung Priok.

 

“Mbak, bisa pesan tiket ke Rembang?”, tanyaku saat tiba di depan loket agen Karina.

“Boleh Mas, berapa orang dan kapan?”, jawabnya sembari balik bertanya.

“Cuma satu sih Mbak. Tapi saya ingin mastiin, benar ngga mercy terbaru untuk Jumat nanti?”, tanyaku kembali untuk mengorek jawaban.

 

Sebenarnya pertanyaan bodoh, bukankah aku ingin mengendapkan kerinduan bermesraan dengan Si Ijo, mengapa pakai acara pilah-pilih armada?

 

“Saya tidak menjamin Mas, tapi seringnya bis baru kok untuk armada pertama ke Madura. Tapi itu kebijakan kantor, bisa jadi berubah. Jadi sekali lagi, saya tidak berani menjamin Mas,” timpal agen dengan jujur.

 

Gini aja Mas, pesan dulu aja. Andai nanti salah, ngga jadi naik ngga papa kok”, rayu Mbak agen agar aku tidak beringsut ke agen bis sebelahnya. (Pahala Kencana atau Kramat Djati)

 

“Ya sudah. Berapa ke Rembang, Mbak,” sambil kulirik price list tiket per kota yang disinggahi trayek Lorena-Karina, terpampang di kaca loket.

“Rp.140.000,00 Mas”, jelasnya sesuai harga yang telah dibandrol.

“Kalau boleh Rp.130.000,00, saya ambil deh Mbak”, kucoba untuk menawar harga.

 

Sesaat setelah berpikir.

 

“Ok deh kalau buat Mas”, balasnya sambil tersenyum.

 

Yup, tiket sudah kugenggam, posisi duduk di seat 1B sudah kublock, dan peluang hingga 95% armada baru kemungkinan kudapat. Hanya tinggal doa pengharapan, semoga perjalananku dengan Karina akan so impressed.

 

(bersambung)

Benarkah Kursi Depan Favorit?


Mumpung lagi hangat di milis tentang bahasan posisi duduk paling favorit di dalam bis, yang hasil sementara menunjukkan elektabilitas kursi depan mayoritas dipilih, saya pernah punya pengalaman kontraproduktif dengan kesimpulan para khalayak bismania.

 

Ini cerita yang tertinggal dari perjalanan saya ke Adi Putro, Malang, saat naik Pahala Kencana HT 519 Tanjung Priok-Bangkalan.

 

Waktu menunjukkan pukul 12.15, sementara jam keberangkatan bis berkaroseri Panorama DX ini –sesuai yang tertera di tiket– pada jam 12.00. Bis Pahala Kencana Travego make over by Centralindo di belakangnya sudah masuk terminal. Agen segera memerintahkan sopir dan kenek untuk bersiap berangkat, meminta menggeser posisi parkir bis hingga ke ujung exit terminal Tanjung Priok, sambil dia sendiri duduk di kursi kenek, merekap hasil pendapatan dari penjualan tiket serta mengisi formulir Daftar Penumpang (DP) yang nantinya akan dibawa kru.

 

“Isi berapa?” tanya sopir kepada Mbak agen

“Minus satu” jelasnya. (Maksudnya hanya satu yang tidak terisi)

 

Saat bis bergerak perlahan, ada calon penumpang berlari-lari mengejar bis. Bis pun berhenti.

 

“Mbak, masih ada tempat?” tanyanya.

“Masih Mas”, jawab agen lewat jendela, seraya kenek membukakan pintu.

 

Mbak agen segera menyiapkan tiket.

 

“Kemana, Cak?”

“Bangkalan”

 

Kemudian menuliskan nama penumpang, tujuan, nomor bis dan seterusnya seterusnya, sebagaimana tugas seorang agen tiket.

 

“Ini Cak, duduk-e sampeyan di depan,” kata agen menutup transaksi.

 

Saya yang menempati jok 1B, segera melirik kursi kosong di seberang lorong, sejajar yang saya dudukki, ternyata itu kursi terakhir yang laku jual.

 

Saya hanya tersenyum kecut dalam hati. Saat rombongan Bismania Community (BMC)  turing bareng, jatah kursi depan selalu jadi rebutan sehingga perlu diambil jalan mediasi dengan mengundi, bahkan ada wacana dilelang segala, justru kursi 1C (no.3) ini malah disiriki (dijauhi) penumpang.

 

He he he…